Thursday, December 30, 2010

Makalah Landasan Pendidikan

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT . Sholawat dan salam marilah kita haturkan kepada Rasullulah SAW. Berkat limpahan rahmat, karunia, dan hidayah dari Allah SWT , penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan semaksimal mungkin tanpa hambatan suatu apa.
Pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting dalam rangka kita memperoleh kenikmatan di dunia ini, proses pendidikan yang didasari dengan perasaan ikhalas maka akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik nantinya. Dalam makalah ini penulis menuliskan dalam sepuluh bab .Kesepuluh bab tersebut adalah bab pertama, bab kedua adalah sifat hakikat manusia,bab ketiga hakikat peserta didik,hakikat pendidikan ,visi dan misi pendidikan ,unsur-unsur pendidikan,sistem pendidikan,system pendidikan nasional,kewibawaan dalam pendidikan,permaslahan pendidikan.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada mahasiswa sebagai acuan dan motivasi untuk menjadi seorang guru yang profesional. Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada Bp Dr.Tjipto Subadi, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Landasan Pendidikan kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang.
Surakarta, 10 Desember 2010
Penulis

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………..1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………...3
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………..5
PEMBAHASAN
BAB 1: Sifat Hakikat Manusia
A. Pengertian…………………………………………………………………………….11
B. Sifat Hakikat Manusia………………………………………………………………..13
C. Wujud Sifat Hakikat Manusia………………………………………………………..14
BAB 2: Hakikat Peserta Didik
A. Peserta Didik…………………………………………………………………………18
B. Karakteristik Peserta Didik…………………………………………………………..23
C. Potensi Peserta Didik………………………………………………………………...26
BAB 3: Hakikat Pendidik
A. Pendekatan- pendekatan……………………………………………………………..28
• Redusionisme……………………………………………………………..........28
• Holistik Integratif…………………..……………………………………….…30
BAB 4: Visi dan Misi Pendidikan
A. Visi Pendidikan……………………………………………………………………...33
B. Misi Pendidikan……………………………………………………………………...33
C. Dasar Pendidikan…………………………………………………………………….34
D. Tujuan Pendidikan…………………………………………………………………...36
E. Landasan dan Asas Pendidikan………………………………………………………39
BAB 5: Unsur-unsur Pendidikan
A. Peserta Didik………………………………………………………………………...45
B. Pendidik……………………………………………………………………………...48
C. Interaksi Edukatif……………………………………………………………………50
D. Alat-alat Pendidikan…………………………………………………………………54
E. Aspek Lingkungan…………………………………………………………………...63
BAB 6: Sistem Pendidikan
A. Pengertian Sistem…………………………………………………………………..68
B. Pendekatan Sistem………………………………………………………………….68
C. Teori Sistem………………………………………………………………………...69
D. Sistem Pendidikan………………………………………………………………….71
E. Komponen-komponen Sistem Pendidikan…………………………………………72
BAB 7: Sistem Pendidikan Nasional
A. Pengertian………………………………………………………………………….76
B. Undang-undang SISDIKNAS……………………………………………………..79
C. Peraturan Mentri……………………………………………………………………93


BAB 8: Kewibawaan dalam Pendidikan
A. Pengertian Kewibawaan………………………………………………………….99
B. Macam-macam Kewibawaan…………………………………………………….99
C. Alat-alat Kewibawaan……………………………………………………………102
D. Kewibawaan Dan Anak………………………………………………………….103
BAB 9: Permasalahan Pendidikan
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia………………………………………………..105
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia………………………………………………..105
C. Penyebab Rendahnya Kualitas pendidikan di Indonesia………………………...107
BAB 10: Pendidikan Islam
A. Pendidikan Dalam Konsep Islam………………………………………………...120
B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam……………………………………………...120
C. Batas Dan Alat Pendidikan……………………………………………………….121
D. Pendidikan Islam sebagai Suatu Sistem…………………………………………..122
BAB 11. Aliran-aliran Pendidikan
A. Aliran Klasik Pendidikan…………………………………………………………125
B. Aliran Kefilsafatan Pendidikan…………………………………………………...127
BAB 12. Sejarah Penididikan
A. Sejarah Singkat Pendidikan……………………………………………………….132
PENUTUP………………………………………………………………………………...134

DAFTAR PUSTAKA










PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai seorang calon guru, seharusnya terlebih dahulu mengetahui tentang dasar-dasar pendidikan yang akan diajarkan kepada peserta didik, maka dari itu seorang guru wajib mengetahui tentang materi Landasan Pendidikan.
Sebelum kita membicarakan tentang landasan-landasan pendidikan yang dianut oleh suatu bangsa, maka terlebih dahulu kita harus mempunyai kesatuan pendapat tentang arti landasan pendidikan. Landasan Pendidikan merupakan norma dasar pendidikan yang bersifat imperatif; artinya mengikat dan mengharuskan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan untuk setia melaksanakan dan mengembangkan berdasarkan landasan pendidikan yang dianut.
Jika kita berbicara tentang esensi landasan pendidikan dalam proses pendidikan, maka hal itu akan dikaitkan juga dengan study pendidikan dan praktek pendidikan yang merupakan dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan. Praktek tanpa study tidak mungkin berlangsung, demikian pula study tanpa praktek ibarat hampa tak ada gunanya. Seperti yang disebutkan oleh M. I. Soelaiman bahwa praktek tanpa teori tidak jelas arahnya. Study pendidikan merupakan seperangkat kegiatan yang bertujuan untuk memahami suatu prinsip, konsep, atau teori pendidikan, sedangkan praktek pendidikan merupakan seperangkat kegiatan bersama yang bertujuan membantu pihak lain agar mengalami perubahan tingkah laku yang di harapkan. Berdasarkan hal tersebut maka konsep, prinsip atau teori pendidikan yang dibutuhkan dalam praktek pendidikan merupakan landasan bagi berlangsungnya proses pendidikan, dengan demikian landasan yang kokoh dan terarah merupakan pijakan dalam suatu kegiatan pedidikan.
B. Tujuan Penulisan
1. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Landasan Pendidikan dan sebagai acuan modal seorang guru untuk lebih memiliki pengetahuan yang luas dan dapat diajarkan kepada peserta didik kelak. Dengan penulisan makalah ini juga diharapkan para pembaca dapat mengetahui bagaimana cara mendidik anak dengan kasih sayang sebagai mana mestinya serta sebagai motivasi penulis untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah di tuliskan dalam makalah ini.Serta Setelah menyelesaikan mata kuliah ini mahasiswa mampu mendeskripsikan konsep dasar, tujuan, fungsi dan manfaat teknologi komunikasi dalam pendidikan, perkembangan konsepsi teknologi komunikasi pendidikan, difusi dan inovasi dalam teknologi komunikasi pendidikan, bentuk prosedur, hasil dan manfaat adopsi teknologi komunikaasi pendidikan, dan mengaplikasikan teknologi komunikasi pendidikan dalam memecahkan masalah-masalah pembelajaran.
2. Setelah menempuh mata kulih ini mahasiswa diharapkan memiliki dasar pemikiran filosofis dan teoritis mengenai pendidikan dalam lingkup pengajaran makro berlandaskan epistemologis dan lingkup belajar-mengajar mikro berlandaskan interaksi insani, memiliki wawasan yang luas dan dalam mengenai berbagai pandangan fislafat dan teori pendidikan. Mahasiswa mampu pula mengidentifikasi permasalahan pendidikan yang ditemuinya dalam keseharian pendidikan dan mencarikan jalan keluarnya. Diharapkan juga ia akan mampu membina dan mengembangkan program pendidikan serta memecahkan persoalan pendidikan pada umumnya, dan khususnya yang timbul dan dihadapi di Indonesia baik dalam rangka otonomi daerah maupun dekonsentrasi pendidikan guru dan pendidikan tinggi.
3. Meningkatkan wawasan mahasiswa tentang konsep, fungsi dan jenis-jenis landasan pendidikan, serta mampu mengaplikasikannya dalam rangka studi dan praktek pendidikan di sekolah dan luar sekolah.Mahasiswa mampu memahami konsep perencanaan pengajaran, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), penentuan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM), perhitungan alokasi waktu atau kalender pendidikan, pembelajaran tematik, pe ngembangan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan simulasi mengajar.
4. Tujuan utama mata kuliah landasan-landasan pendidikan dalam pendidikan tenaga kependidikan tidak tertuju kepada pengembangan aspek keterampilan khusus mengenai pendidikan sesuai spesialisasi jurusan atau program pendidikan, melainkan tertuju kepada pengembangan wawasan kependidikan, yaitu berkenaan dengan berbagai asumsi yang bersifat umum tentang pendidikan yang harus dipilih dan diadopsi oleh tenaga kependidikan sehingga menjadi cara pandang dan bersikap dalam rangka melaksanakan tugasnya.
5. Berbagai asumsi pendidikan yang telah dipilih dan diadopsi oleh seseorang tenaga kependidikan akan berfungsi memberikan dasar rujukan konseptual dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan yang dilaksanakannya. Dengan kata lain, fungsi landasan pendidikan adalah sebagai dasar pijakan atau titik tolak praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.

Beberapa contoh Tujuan Mata Kuliah dari beberapa Bidang Studi :
PENDIDIKAN AGAMA
Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa :
1. Mampu memahami, menghayati, serta mewujudkan iman secara dewasa sesuai agama masing-masing,
2. Mempunyai pemahaman tentang nilai-nilai pokok yang terkandung dalam agama-agama yang ada di Indonesia,
3. Memiliki sikap terbuka untuk dapat bertoleransi dan berdialog dengan pemeluk berbagai agama,
4. Menganalisa secara kritis permasalahan yang berkembang di tengah masyarakat dalam perspektif nilai-nilai universalitas keagamaan.

PENDIDIKAN PANCASILA
Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa :
1. Menghayati nilai-nilai luhur Pancasila serta mampu mewujudkan dalam norma-norma serta tingkah laku kehidupan sehari-hari,
2. Mampu menerapkan pemikiran berlandaskan Pancasila dalam menghadapi dan memecahkan masalah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Mata kuliah ini bertujuan untuk :
1. Mengantar mahasiswa memiliki kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap, dan perilaku untuk cinta tanah air Indonesia,
2. Menumbuhkan wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa dan bernegara, sehingga terbentu daya tangkal sebagai ketahanan nasional,
3. Mempunyai pola sikap dan pola pikir yang bersifat komprehensif dan integral pada berbagai aspek kehidupan nasional.




C. Ruang Lingkup Mata Kuliah
Seminar Pendidikan Umum yang dilaksanakan pada tanggal 14 – 15 Desember 1998, dengan Tema ” Pencarian Body of Knowledge Pendidikan Umum ” merupakan suatu upaya untuk mempertegas kembali pentingnya Pendidikan Umum dalam proses pendidikan pada umumnya dalam konteks :
(1) Pendidikan Nilai
(2) Pendidikan Kepribadian
(3) Program Studi
(4) Mata Pelajaran MKDU
(5) Pengembangan Kepribadian Utuh
(6) Warga Negara yang Baik dan
(7)Pengembangan Sikap Ilmiah
Dari gagasan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.Dalam memahami Pendidikan Umum, yang pertama kali harus dibedakan yaitu pada konteks pendidikan umum manakah kita akan memahaminya.
Cara memilah pendidikan umum dapat dilakukan kedalam tiga kategori, yaitu:
(a) Pendidikan umum sebagai Ilmu
(b) Pendidikan umum sebagai program pendidikan (MKDU) dan
(c) Pendidikan umum sebagai program studi, seperti di PPS UPI. Dari ketiga dimensi pendidikan umum dapat dikaji visi atau makna, misi dan tujuan, prinsip, struktur, isi atau muatan kurikulum dan pendekatan yang digunakan.
2. Pendidikan umum sebagai ilmu, program pendidikan dan program studi meliputi dua bidang kajian inti yang membedakannya, dari bidang kajian ini, yaitu :
(1) Pendidikan nilai, dan
(2) Pendidikan kepribadian.
3. Memahami Pendidikan Umum sebagai Program pendidikan dan Program Studi dapat dilakukan dengan cara merinci tujuan, materi, metode, dan evaluasi pendidikan yang dikembangkan menjadi suatu sistem terpadu, baik dari sudut pandang agama maupun budaya. Dalam pengertian seperti itu, Pendidikan Umum harus sampai pada wilayah aksi atau tindakan yang memberi makna besar bagi peserta didik.
4. Memahami Pendidikan Umum dapat dimulai dari pengkajian definisi yang positif tentang Pendidikan Umum, yang kemudian dapat dikomparasikan antara satu dengan yang lainnya. Langkah berikutnya adalah menjabarkan definisi tersebut kedalam definisi operasional yang lebih memberikan kejelasan dan batasan tertentu tentang Pendidikan Umum. Proses derivasi definisi kedalam definisi operasional, sangat berguna dalam upaya penelitian tentang Pendidikan Umum, sehingga tekanan penelitian dapat berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya dan tetap berada dalam koridor garapan Pendidikan Umum.
5. Secara historis, awal pendirian Program Studi Pendidikan Umum, di PPS IKIP sebenarnya sederhana, yaitu untuk menyiapkan dosen-dosen MKDU di Perguruan Tinggi. Dosen-dosen yang dipanggil bermacam-mcam keahliannya; ada ekonom, ahli agama, budayawan, sehingga berkembang kemudian disusun matakuliah yang terkesan ”aneh” seperti Ekonomi dan Pendidikan Umum Pancasila dalam Pendidikan Umum, IPA dalam Pendidikan Umum, dan Agama dalam Pendidikan Umum. Satu tahun lamanya tidak pernah ada yang menghiraukan matakuliah Agama dalam Pendidikan Umum, tetapi setelah itu dihilangkan dan diganti dengan matakuliah Nilai-nilai Agama sebagai Landasan Pendidikan Umum (diajarkan di S.3).
6. Menurut sudut pandang Islam tujuan pendidikan umum itu mencakup tiga tujuan mulia, yaitu untuk mencapai manusia memiliki karakterisktik :
(a) Hilmun, yaitu kesanggupan atau kemampuan untuk menolak argumentasi orang bodoh dengan bahasa yang santun;
(b) Woro’, yaitu tidak rakus, rendah hati, yang mampu membentangi dirinya
dari perbuatan maksiat;
(c) Husnul khuluq, yakni berakhlaq baik sehingga ia bisa hidup diantara
manusia.
7. Adalah suatu keharusan bagi para ilmuwan Pendidikan Umum untuk memahami gejolak nilai yang terjadi dalam kehidupan. Mereka tidak boleh hanyut dalam pergumulan nilai (war of values). Mereka harus mampu menempatkan diri untuk ikut menata, membina, mengembangkan dan ikut mengendalikan nilai-nilai baik yang berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, keahlian yang paling utama dan terpenting bagi ahli Pendidikan Umum adalah memahami dan mampu mengemban misi dalam mengembangkan kepribadian utuh dengan cara memupuk qolbu agar peserta didik memiliki keteguhan hati.
8. Perumusan batang tubuh pendidikan umum dapat dilakukan dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda antara penggagas yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya dapat dilakukan melalui :
a. Pencarian proses dan karakteristik pendidikan umum secara random, sementara ini dirumuskan dalam tujuh karakteristik pendidikan umum :
(1) Ide vital pendidikan umum adalah learning termasuk pada agama
(2) Kognitif, afektif dan psikomotorik
(3) Penerapan ilmu pendidikan dan psikologi dalam bidang studi
(4) Pendidikan umum cenderung melakukan integrated knowledge system
yang sama dengan pengorganisasian transdisiplin
(5) Pendidikan umum sebagai problem solving lintas disiplin, dan
(6) Pendidikan umum harus bisa membuat streotype berfikir dalam beberapa
disiplin ilmu dan harus confident (percaya diri).
b. Melalui ilustrasi pohon pendidikan umum. Cara berikutnya adalah melalui ilustrasi pohon pendidikan umum, yang memuat dan memposisikan ilmu pada kedudukannya dalam Pendidikan Umum. Cara ini tentu saja tidak dapat dilakukan apabila tidak dibekali dengan pemahaman yang luas tentang kedalam kajian disiplin-disiplin ilmu.









BAB 1
SIFAT HAKIKAT MANUSIA

A. Pengertian Sifat Hakikat Manusia
Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah.

Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia.
Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {“Allah telah menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi semuanya.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {“Allah telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.”}(Q. S. Ibrahim: 33). {“Allah telah menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.”}(Q. S. Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan. Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati.
Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat apa-apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang dan cinta,
rasa kebapaan dan sebagai anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut dan aman, menyukai harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan rasa suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah menciptakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan rasa cintanya itu dan memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari adanya potensi kehidupan yang terdapat dalam dirinya. Oleh karena itu manusia senantiasa berusaha mendapatkan apa yang sesuai dengan kebutuhannya,hal ini juga dialami oleh para mahluk-mahluk hidup lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya dalam hal kesempurnaan tata cara untuk memperoleh benda-benda pemuas kebutuhannya dan juga tata cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain melakukannya hanya berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya sementara manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah karuniakan kepadanya.
Dewasa ini manusia, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara spermatozoa dengan ovum.
Didalam Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak dijelaskan secara rinci, akan tetapi hakikat diciptakannya manusia menurut islam yakni sebagai mahluk yang diperintahkan untuk menjaga dan mengelola bumi. Hal ini tentu harus kita kaitkan dengan konsekuensi terhadap manusia yang diberikan suatu kesempurnaan berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di miliki oleh mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Manusia sebagai mahluk yang telah diberikan kesempurnaan haruslah mampu menempatkan dirinya sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai penjaga atau pengelola bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam Surat All-Baqarah ayat 30. Kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah.
Namun kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah. Akan tetapi fungsi dari khalifah itu sendiri sesuai dengan yang telah diuraikan diatas sangatlah luas, yakni selain sebagai pemimpin manusia juga berfungsi sebagai penerus ajaran agama yang telah dilakukan oleh para pendahulunya,selain itu khalifah juga merupakan pemelihara ataupun penjaga bumi ini dari kerusakan.
B. Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakekat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek yang berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kokoh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis dan universil tentang ciri yang hakiki dari manusia. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuh kembangkan sifat hakekat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Uraian selanjutnya akan membahas pengertian sifat hakekat manusia dan wujud sifat hakekat manusia.

C. Wujud Sifat Hakikat Manusia
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakekat manusia yang dikemukakan oleh faham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan yaitu :
a. Kemampuan menyadari diri
b. Kemampuan bereksistensi
c. Pemilikan kata hati
d. Moral
e. Kemampuan bertanggung jawab
f. Rasa kebebasan (kemerdekaan)
g. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
h. Kemampuan menghayati kebahagiaan
Butir-butir tersebut akan dikemukakan pada uraian di bawah ini.
a. Kemampuan menyadari diri
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia itu, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan Aku-Aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non Aku (lingkungan fisik) disekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya, baik yang berupa pribadi maupun non pribadi/benda. Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan kedalam.
Dengan arah keluar, Aku memandang dan menjadikan lingkungan itu sebagai obyek dan Aku memanipulasi kedalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhan Aku. Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan arah ke dalam, Aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini Kamu, Dia, Mereka) sebagai subyek yang berhadapan dengan Aku sebagai obyek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa. Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikarunia kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri akunya sendiri. Untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat demikian seorang Aku dapat berperan ganda (sebagai subyek dan sekaligus sebagai obyek), suatu aktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan. Inilah manifestasi dari puncak karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan. Drijarkara(Drijarkara: 138) menyebut kemampuan tersebut dengan istilah “mengAku”, yaitu kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan sehingga Aku dapat berkembang kearah kesempurnaan diri. Kenyataan seperti digambarkan itu mempunyai implikasi paedagogis, yaitu keharusan pendidikan untuk menumbuh kembangkan kemampuan meng-Aku pada peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatian.
b. Kemampuan bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara Aku dengan obyek, lalu melihat obyek itu sebagai sesuatu yang ada disana, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human, di mana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manager terhadap lingkungannya.
c. Kata ganti (geweten consicience of man)
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, suara hati, pelihat hati dstnya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikut perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan yang sedang dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia.
Dengan sebutan “pelihat hati” atau “hati nurani” menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatan sebagai manusia.
d. Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri. Itulah sebabnya pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan yang oleh M.J Langeveld dinamakan “De opvoedeling om zichzelfs wil”.
Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat, maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun.
e. Tanggung jawab
Wujud bertanggung jawab ada bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma social. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama.
Dengan demikian tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
f. Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas tetapi yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Kemerdekaan dalam arti sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia.
g. Kewajiban dan hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain.tak ada hak tanpa kewajiban. Kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya hak itu adalah sesuatu yang masih kosong, artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya. Dan meskipun sudah diketahui belum tentu orang mempergunakannya. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan.
h. Kemampuan menghayati kebahagiaan
Kehabagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Peliknya persoalan mungkin juga disebabkan oleh karena kebahagiaan itu lebih dapat dirasakan dari pada difikirkan.
Kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara factual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan) ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semua itu dengan kebeningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut didalam rangkaian tiga hal yaitu : usaha, norma-norma dan takdir. Yang dimaksud usaha adalah perjuangan yang terus-menerus untuk mengatasi masalah hidup. Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu pada norma-norma. Kemudian takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan.
Dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan yaitu: kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir.
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungan, dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan.
Berling mengemukakan sinyalemen Heinemann bahwa pada abad 20 manusia mengalami krisis total. Disebut demikian karena yang dilanda krisis bukan hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis energy dan sebagainya. Melainkan yang krisis adalah manusianya sendiri (Berling, 1951:43)




BAB 2
HAKIKAT PESERTA DIDIK
A. Peserta Didik
Dalam pandangan konvensional peserta didik diperlakukan sebagai objek didik karena hakikat peserta didik dipandang sebagai wadah yang harus diisi dengan pengetahuan, ketrampilan. Peserta didik diperlakukan pasif dan dipandang tidak mempunyai potensi apapun. Berlainan dengan pandangan modern bahwa hakikat peserta didik sejak awal telah mempunyai potensi sehingga pengajaran difungsikan sebatas mendorong dan menstimuli berkembangnya potensi, peserta didik aktif mengembangkan potensinya sendiri sebagai subjek didik. Dalam pandangan pengajaran yang mengikuti pendekatan bipolar, bahwa dalam kegiatan proses pengajaran hanya ada dua pihak yang dominan (guru/pengajar dan peserta didik), maka posisi peserta didik memiliki dua kemungkinan yaitu sebagai subjek didik dan kemungkinan kedua sebagai objek didik.
Dalam diskursus yang menyangkut hakikat peserta didik sampai kini terus berlangsung sejajar dengan perkembangan ilmu pendidikan itu sendiri, walaupun dalam belahan bumi lain telah terselenggara pendidikan/pengajaran yang lebih menempatkan peserta didik sebagai subjek didik seperti di Amerika dan Kanada, namun dalam waktu yang sama di belahan bumi lainnya tetap saja berlangsung penyelenggaraan pendidikan yang masih menempatkan peserta didik sebagai objek didik. Di Indonesia praktik yang demikian masih sangat kental. Apa konskuensi dari semua model perlakuan terhadap peserta didik yang memandang subjek didik maupun objek didik sangat terkait dengan pandangan tentang hakikat peserta didik sebagai garapan pendidikan. Oleh karena itu, pendasaran pengetahuan hakikat peserta didik menjadi sangat penting agar dapat diperoleh pemaknaan akan hakikat peserta didik dalam proporsinya. Berikut ini akan diuraikan berbagai pandangan tentang manusia subjek didik maupun objek didik.

1. Dimensi Antropologi
Antropologi adalah ilmu yang mengkaji tentang asal usul, perkembangan, karakter spesies manusia ini, hakikat peserta didik dipandang sebagai homo sapiens yaitu sebagai makhluk hidup yang telah mencapai evolusi paling puncak. Dalam klasifikasi ini Mudyahardjo (2000:22-26) menerangkan peserta didik mempunyai ciri khas sebagaimana ciri manusia umumnya, yaitu :
a. Berjalan tegak (bipedal locomotion)
b. Mempunyai otak besar dan kompleks
c. Hewan yang tergeneralisasi, dapat hidup dalam berbagai lingkungan
d. Periode kehamilan yang panjang dan lahir tidak berdaya.
Dalam karakter yang demikian maka manusia mampu berbudaya memiliki tingkah laku kultural yang terorganisir dalam pola-pola tingkah laku serta hidup bermasyarakat dengan tradisi budaya material.
Hakikat peserta didik dalam pandangan dimensi Antropologi adalah bahwa peserta didik sebagai makhluk yang dapat bermasyarakat dan dapat dimasyarakatkan sehingga pendidikan harus menyentuh upaya sosialisasi dan pembudayaan. Kebudayaan yang dihasilkan melalui interaksi dalam masyarakat baik berupa budaya materiil maupun immaterial dapat dijadikan tranmisi pendidikan, bahkan dapat dijadikan pembentuk watak kemasyarakatan peserta didik.
Hakikat peserta didik merupakan organisme yang harus ditolong sebab peserta didik hanya akan menjadi matang apabila diberikan pertolongan dalam bentuk pendidikan, latihan maupun bimbingan dengan menggunakan bahan-bahan antropologis. Sebab ilm antropologi mampu untuk menyediakan dan menghimpun bahan-bahan pengetahuan empiris berdasarkan lingkungan sosial budayanya masing-masing.
Imran Manan (1989: 12-13) menjelaskan bahwa dari dimensi Antropologis terdapat tiga prinsip tentang peserta didik yaitu :
Pertama, peserta didik dan manusia adalah makhluk sosial yang hidup bersama-sama dan saling mempengaruhi, sehingga peserta didik merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk mengisi dan melengkapi ketidaklengkapannya. Sebagai makhluk sosial, peserta didik dapat bersikap kooperatif sehingga dapat dituntun dan dididik.
Kedua, peserta didik dipandang sebagai individualitas yakni menampilkan sifat-sifat karakteristik yang khas dan memiliki struktur kepribadian yang berbeda dengan individu lainnya. Peserta didik tidak bisa diperlakukan sama dalam proses pendewasaannya, kecenderungan, minat dan bakat yang spesifik dari masing-masing peserta didik biarlah menjadi individual deferences yang otonom.
Peserta didik pasti dengan karakteristik individualnya akan mengembangkan perbedaan dengan nilai dan watak yang khas, dalam pendidikan niai dan watak tersebut harus dihargai sebagai keunikan dan dihargai tanpa syarat (unconditional regard).
Ketiga, peserta didik harus dipandang mempunyai moralitas. Prinsip Antropologis yang ketiga ini mengakui bahwa peserta didik sesungguhnya adalah makhluk yang bermoral sehingga identitas moral sesungguhnya telah dimiliki sejak awal. Kemampuan mengambil keputusan susila dan membedakan mana yang baik dan buruk adalah kodrati. Atas dasar itu maka manusia atau peserta didik disebut sebagai person pribadi etis karena secara alami mempunyai kemampuan selektif atas normal etis. Dalam prinsip ketiga ini hadirnya pendidikan adalah berfungsi memperjelas nilai alami. Sehubungan dengan nilai etis dalam praktik pendidikan ini. Langeveld menegaskan bahwa pendidikan sesungguhnya adalah membantu anak agar dia sampai pada penentuan nilai-nilai susila dalam satu orde moril.
2. Dimensi Psikologi
Pandangan kejiwaan ini sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan sehingga banyak teori pengajaran dan teori belajar diambil dari teori psikologi. Kuatnya pengaruh tersebut akhirnya memunculkan ilmu baru yang dinamakan dengan Psikologi pendidikan. Psikologi sebagai ilmu menitik beratkan pengkajian terhadap kegiatan-kegiatan individu dalam keseluruhan ruang lingkup hidup manusia.
Dalam perspektif psikologi ini, peserta didik dipandang sebagai individu yang mampu belajar sebab memiliki karakteristik :
a. Unik (berbeda satu dengan lainnya)
b. Sebagai sebuah organisme total
c. Mempunyai kesiapan bertindak
d. Mempunyai tugas-tugas perkembangan
e. Mempunyai berbagai kebutuhan
f. Mempunyai kecenderungan-kecenderungan umum dalam bertindak
g. Mempunyai tujuan khusus
h. Mempunyai motivator untuk dirinya sendiri.
Berdasarkan karakter di atas, maka subjek didik adalah individu yang telah dilengkapi dengan kemampuan belajar sehingga pendidikan tinggal mengembangkannya. Olah karena itu tidak pada tempatnya kalau peserta didik harus selalu dituntun, didikte, yang diperlukan adalah dorongan motivasi, fasilitator. Dari segi ini peserta didik ditempatkan sebagai subjek didik (pelaku pendidikan) bukan sebagai objek didik (penderita).
Dalam pandangan modern peserta didik dipandang sebagai subjek didik sebab diakui eksistensinya sebagai pribadi yang otonom. Dalam hal ini ciri khas peserta didik diakui memiliki :
a. Potensi fisik dan psikis yang khas sehingga merupakan individu yang unik.
b. Potensi sebagai individu yang berkembang.
c. Kebutuhan untuk dididik secara individual dan perlakuan yang manusiawi.
d. Kemampuan untuk mandiri dan otonom.
Semua potensi di atas menunjukkan bahwa sebenarnya peserta didik memiliki sifat alami, yaitu dapat dididik dan makhluk yang membutuhkan pendidikan. Penegasan sifat alami peserta didik di atas diperkuat oleh Immanuel Kant dengan ungkapannya: Man can become man through education only.
Dalam sorotan lain tentang hakikat peserta didik, dikemukakan bahwa anak manusia sebagai peserta didik hakikatnya mempunyai empat sifat dasar yang dengan sifat tersebut akhirnya anak manusia dapat dan perlu dididik. Empat ciri alami yang diberikan pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Adanya sifat alami untuk tergantung dengan lingkungan sosial dan manusia lainnya.
Sifat ini mendorong anak manusia untuk memperoleh bantuan pendidikan pihak manusia lainnya dalam kerangka survival. Keterangan yang demikian menjadi sangat alami ketika realitanya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Disinilah jejak manusia sebagai zoon politicon harus ditindak lanjuti dengan bantuan pendidikan. Siapapun tidak pernah terlihat eksistensinya kalau tidak berada dalam lingkungan masyarakatnya. Individu hanya ada artinya bila ada individu lainnya secara simbiosis, ketergantungan ini semakin waktu semakin kuat bukan sebaliknya. Sifat dasar ketergantungan inilah yang merupakan embrio potensi yang kelak menumbuhkan kapasitas individu untuk mereaksi ketika muncul stimuli edukatif.
2. Peserta didik pada hakikatnya memiliki dorongan hidup dan mempertahankan eksistensinya.
Sifat dasar ini menjadi pendorong peserta didik untuk menyeimbangkan diri terhadap tuntutan ekternal agar mampu merespon stimuli yang datang padanya.hasrat keingin tahuan serta dorongan memenuhi ketidak mampuan telah mengkondisikan peserta didik mencari pendidikan secara terus menerus. Dorongana agar keberadaan diri dan pribadi tetap terjaga mendorong seseorang terus belajar dan belajar.


3. Peserta didik sesungguhnya terdiri dari jasmani dan rohani.
Sifat dasar ini menuntut diri untuk menyeimbangkan melalui pendidikan yang dilakukan sehingga pendidikan menjadi kebutuhan vital. Unsur totalitas ini harus menjadi perhatian pendidikan karena keduanya memang membutuhkan pemenuhan yang berbeda.
4. Individu mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang serta berubah secara fisik dan psikis.
Kemampuan ini dalam praktik pendidikan tidak selama memperoleh porsi pengembangan yang optimal ada kalanya terhambat adakalanya terpacu dengan adanya pendidikan. Karena itu, interaksi edukatif harus disediakan sebab interaksi sesungguhnya merupakan unsur utama dalam belajar yang mengarahkan pada pertumbuhan. Ada sementara pihak (John Dewey) mengatakan bahwa hakikatnya pendidikan harus mengakibatkan pertumbuhan. (Since growht in the characteristic of life, education is all one with growing it has no end beyond itself).





B. Karakteristik Peserta Didik
Masa usia sekolah dasar sebagai mesa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak.

Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.

Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.

Menurut Piaget ada lima faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika matematika (logical mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation ) Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil belajar.

Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang baik dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri, sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas.

Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit, pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.

Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.

Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.

Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.

Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok.




Karakteristik peserta didik adalah keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada peserta didik sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-cintanya. Dengan demikian, penentuan tujuan belajar itu sebenarnya harus dikaitkan atau disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik peserta didik itu sendiri.
Ada tiga hal hal yang perlu diperhatikan dalam karakteristik peserta didik yaitu:
1. Karakteristik atau keadaan yang berkenaan dengan kemampuan awal atau Prerequisite skills, seperti misalnya kemampuan intelektual, kemampuan berfikir,mengucapkan hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikomotor dan lainnya.
2. Karakteristik yang berhungan dengan latar belakang dan status sosial (socioculture)
3. Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat dan lain-lain.
Pengetahuan mengenai karakteristik peserta didik ini memiliki arti yang cukup penting dalam interaksi belajar mengajar. Terutama bagi guru, informasi mengenai karakteristik peserta didik senantiasa akan sangat berguna dalam memilih dan menentukan pola-pola pengajaranyang lebih baik, yang dapat menjamin kemudahan belajarbagi setiap peserta didik.
Adapun Karakteristik Peserta Didik yang mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik antara lain:
• Kondidi fisik
• Latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan
• Gaya belajar
• Usia
• Tingkat kematangan
• Ruang lingkup minat dan bakat
• Lingkungan sosial ekonomi dan budaya
• Faktor emosional
• Faktor komunikasi
• Intelegensia
• Keselaran dan attitude
• Prestasi belajar
• Motivasi dan lain-lain.

C. Potensi Peserta Didik
Manusia senantiasa mengalami pertumbuhan dan berkembang. Pertumbuhan merupakan perubahan secara fisiologi sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat. Perkembangan juga merupakan proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungannya. Dengan kata lain perkembangan merupakan perubahan fungsional yang dipengaruhi oleh pencapaian tingkat kematangan fisik dan intelek.
Masa remaja adalah masa yang khusus, penuh gejolak karena pada pertumbuhan fisik dan kehidupan lingkungannya terjadi ketidakseimbangan. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan fisik, intelek, emosi, berbahasa, sosial dan nilai remaja. Suatu lingkungan dalam kehidupan remaja merupakan keadaan yang dapat merangsang perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya dan membawa perubahan-perubahan apa yang diinginkan dalam kebiasaan dan sikap-sikapnya. Pengaruh lingkungan merupakan salah satu faktor dari tumbuh kembangnya remaja, remaja dibantu oleh orang tua, guru dan orang dewasa lainya bahkan teman sejawat untuk memanfaatkan kapasitas dan potensi yang dibawanya dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkannya.

Setiap individu remaja memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan dan
karakteristik yang diperoleh dari lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Seorang remaja tidak dilahirkan dengan perlengkapan yang sudah sempurna. Akan tetapi dengan sendirinya pola-pola tersebut berjalan, berbicara, merasakan, berpikir, atau pembentukan pengalaman yang harus dipelajari terlebih dahulu. Dalam diri setiap individu seorang remaja juga memiliki minat atau sifat yang alami walaupun minat atau sifat tersebut terdorong dari potensi tertentu yang membentuk dasar dari minat apa saja yang dikembangkan oleh remaja didalam lingkungan tempat remaja tersebut tumbuh dan berkembang.

Dalam kehidupan remaja pada tingkat manapun, perbedaan latar belakang dan pengalaman mereka masing-masing dapat memperlancar atau menghambat presentasinya, terlepasdari potensi individu untuk menguasai suatu bahan pelajaran. Pengalaman-pengalaman belajar yang dimiliki remaja dirumah mempengaruhi kemampuan untuk berprestasi dalam situasi belajar yang disajikan. Minat dan sikap setiap individu remaja terhadap sekolah dan mata pelajaran tertentu, kebiasaan-kebiasaan kerja sama, kecakapan atau kemauan untuk berkonsentrasi pada bahan-bahan pelajaran, dan kebiasaan-kebiasaan belajar, semuanya merupakan faktor- faktor perbadaan diantaraindividu setiap remaja. Faktor-faktor tersebut kadang-kadang berkembang akibat sikap-sikap anggota keluarga dirumah dan orang-orang yang berada dilingkungan sekitar. Latar belakang keluarga, baik dilihat dari segi sosial ekonomi maupun sosiokultural, adalah berbeda-beda. Demikian pula lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik akan memberikan pengaruh yang berbeda- beda.
BAB 3
HAKIKAT PENDIDIKAN
A. Berbagai pendekatan.

Hakikat pendidikan itu dapat dikategorisasikan dalam dua pendapat yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologi atau metafisik. Kedua pendekatan tersebut tentunya dapat melahirkan jawaban yang berbeda-beda mengenai apakah hakikat pendidikan itu.
Di dalam pendidikan epistemologis yang menjadi masalah adalah akar atau kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek yang akan merupakan dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan. Dari sudut pandang pendidikan dilihat sebagai sesuatu proses yang interen dalam konsep manusia. Artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.
Berbagai pendapat mengenai hakikat pendidikan dapat digolongkan atas dua kelompok besar yaitu :
1. Pendekatan reduksionisme
2. Pendekatan holistik integrative

1. Pendekatan reduksionisme
Teori-teori / pendekatan redaksional sangat banyak dikemukakan di dalam khazanah ilmu pendidikan. Dalam hal ini akan dibicarakan berbagai pendekatan reduksionaisme sebagai berikut :

1. Pendekatan Pedagogisme
Titik tolak dari teori ini ialah anak yang akan di besarkan menjadi manusia dewasa. Pandangan ini apakah berupa pandangan nativisme schopenhouer serta menganut penganutnya yang beranggapan bahwa anak telah mempunyai kemampuan-kemampuan yang dilahirkan dan tinggal di kembangkan saja.

2. Pendekatan Filosofis.
Anak manusia mempunyai hakikatnya sendiri dan berada dengan hakikat orang dewasa. Oleh sebab itu, proses pendewasaan anak bertitik-tolak dari anak sebagai anak manusia yang mempunyai tingkat-tingkat perkembangan sendiri.

3. Pendekatan Religius
Pendekatan religius / religionisme dianut oleh pemikir-pemikir yang melihat hakikat manusia sebagai makhluk yang religius. Namun demikian kemajuan ilmu pengetahuan yang sekuler tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral.

4. Pendekatan Psikologis.
Pandangan-pandangan pedagogisme seperti yang telah diuraikan telah lebih memacu masuknya psikologi ke dalam bidang ilmu pendidikan hal tersebut telah mempersempit pandangan para pendidik seakan-akan ilmu pendidikan terbatas kepada ilmu mengajar saja.

5. Pendekatan Negativis.
Pendidikan ialah menjaga pertumbuhan anak. Dengan demikian pandangan negativisme ini melihat bahwa segala sesuatu seakan-akan telah tersedia di dalam diri anak yang bertumbuh dengan baik apabila tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang merugikan pertumbuhan tersebut.

6. Pendekatan Sosiologis.
Pandangan sosiologisme cenderung berlawanan arah dengan pedagogisme. Titik-tolak dari pandangan ini ialah prioritas kepada kebutuhan masyarakat dan bukan kepada kebutuhan individu.
Peserta didik adalah anggota masyarakat. Dalam sejarah perkembangan manusia kita lihat bahwa tuntutan masyarakat tidak selalu etis. Versi yang lain dari pandangan ini ialah develop mentalisme. Proses pendidikan diarahkan kepada pencapaian target-target tersebut dan tidak jarang nilai-nilai kemanusiaan disubordinasikan untuk mencapai target pembangunan. Pengalaman pembangunan Indonesia selama Orde Baru telah mengarah kepada paham developmentalisme yang menekan kepada pencapaian pertumbuhan yang tinggi, target pemberantasan buta huruf, target pelaksanaan wajib belajar 9 dan 12 tahun.
Salah satu pandangan sosiologisme yang sangat populer adalah konsiensialisme yang dikumandangkan oleh ahli pikir pendidikan Ferkenal Paulo Freire.
Pendidikan yang dikumandangkan oleh Freire ini yang juga dikenal sebagai pendidikan pembebasan pendidikan adalah proses pembebasan. Konsiensialisme yang dikumandangkan Freire merupakan suatu pandangan pendidikan yang sangat mempunyai kadar politis karena dihubungkan dengan situasi kehidupan politik terutama di negara-negara Amerika Latin. Paulo Freire di dalam pendidikan pembebasan melihat fungsi atau hakikat pendidikan sebagai pembebasan manusia dari berbagai penindasan. Sekolah adalah lembaga sosial yang pada umumnya mempresentasi kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada agar menjaga status quo hukum membebaskan manusia dari tirani kekuasaan. Qua atau di dalam istilah Polo Freire. “kapitalisme yang licik”. Sekolah harus berfungsi membangkitkan kesadaran bahwa manusia adalah bebas.

2. Pendekatan Holistik Integratif
Pendekatan-pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan peserta didik dan keseluruhan termasuk lembaga-lembaga pendidikan, menampilkan pandangan ontologis maupun metafisis tertentu mengenai hakikat pendidikan. Teori-teori tersebut satu persatu sifatnya mungkin mendalam secara Vertikal namun tidak melebar secara horizontal.
Peserta didik, anak manusia, tidak hidup secara terisolasi tetapi dia hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat tertentu, yang berbudaya, yang mempunyai visi terhadap kehidupan di masa depan, termasuk kehidupan pasca kehidupan.
Pendekatan reduksionisme terhadap hakikat pendidikan, maka dirumuskan suatu pengertian operasional mengenai hakikat pendidikan. Hakikat pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global. Rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan tersebut di atas mempunyai komponen-komponen sebagai berikut :
1. Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan.
Proses berkesinambungan yang terus menerus dalam arti adanya interaksi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut berupa lingkungan manusia, lingkungan sosial, lingkungan budayanya dan ekologinya. Proses pendidikan adalah proses penyelamatan kehidupan sosial dan penyelamatan lingkungan yang memberikan jaminan hidup yang berkesinambungan.
Proses pendidikan yang berkesinambungan berarti bahwa manusia tidak pernah akan selesai.
2. Proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia.
Eksistensi atau keberadaan manusia adalah suatu keberadaan interaktif. Eksistensi manusia selalu berarti dengan hubungan sesama manusia baik yang dekat maupun dalam ruang lingkup yang semakin luas dengan sesama manusia di dalam planet bumi ini. Proses pendidikan bukan hanya mempunyai dimensi lokal tetapi juga berdimensi nasional dan global.
3. Eksistensi manusia yang memasyarakat.
Proses pendidikan adalah proses mewujudkan eksistensi manusia yang memasyarakat. Jauh Dewey mengatakan bahwa tujuan pendidikan tidak berada di luar proses pendidikan itu tetapi di dalam pendidikan sendiri karena sekolah adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Apabila pendidikan di letakkan di dalam tempatnya yang sebenarnya ialah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang pada dasarnya adalah kehidupan bermoral.
4. Proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya.
Inti dari kehidupan bermasyarakat adalah nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakatnya. Penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai yang hidup, keteraturan dan disiplin para anggotanya. Tanpa keteraturan dan disiplin maka suatu kesatuan hidup akan bubar dengan sendirinya dan berarti pula matinya suatu kebudayaan.
5. Proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang.
Dengan dimensi waktu, proses tersebut mempunyai aspek-aspek historisitas, kekinian dan visi masa depan. Aspek historisitas berarti bahwa suatu masyarakat telah berkembang di dalam proses waktu, yang menyejarah, berarti bahwa kekuatan-kekuatan historis telah menumpuk dan berasimilasi di dalam suatu proses kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan. Dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Menggugurkan pendidikan dari proses pembudayaan merupakan alienasi dari hakikat manusia dan dengan demikian alienasi dari proses humanisasi. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia.












BAB 4
VISI DAN MISI PENDIDIKAN
A. Visi Pendidikan
Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya system pendidikan sebaga pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sejalan denga Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan: INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF (Insan Kamil/Insan Paripurna).
B. Misi Penidikan
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
6. Menyelenggarakan proses pendidikan untuk membantu peserta didik menjadi manusia yang berkualitas, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkemampuan akademik dan/atau profesional sehingga mampu berperan secara bermakna di segala aspek kehidupan masyarakat;
7. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

3. Dasar Pendidikan
Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Dasar atau landasan pendidikan dapat dilihat dari berbagai segi yaitu :
1. Pandangan Islam
• Al-qur’an.
Al-qur’an merupakan pedoman tertinggi yang manjadi petunjuk dan dasar kita hidup di dunia. Dalam Al-qur’an kita bisa menemukan semua permasalahan hidup termasuk pendidikan dan ilmu pengetahuan.
• Hadist
Hadist merupan pedoman kita setalah Al-qur’an, dengan demikian hadist juga merupakan dasar atau elemen dalam pendidikan.
• Nilai-nilai Sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadist.
2. Secara Umum
• Religius
Merupaken elemen atau dasar pendidikan yang paling pokok, disini ditanamkan nilai nilai agama islam (iman, akidah dan akhlak) sebagai suatu pondasi yang kokoh dalam pendidikan
• Ideologis
Yaitu mengacu kepada ideologi bangsa kita yakni nya pancasila dan berdasarkan kepada UUD 1945. Dan intinya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
• Ekonomis
Pendidikan bisa dijadikan sebagai suatu langkah untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan keluar dari segala bentuk kebodohan dan kemiskinan.

• Politis
Lebih mengacu kepada suasana politik yang berlansung.
• Teknologis
Dunia telah mengalami eksplosit ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan bisa dikatakan teknologi sangat memiliki peran dalam kemajuan dunia pendidikan.
• Psikologis dan Pedagogis
Tugas pendidikan sekolah yang utama adalah mengajarkan bagaimana cara belajar, mendidik kejiwaan, menanamkan motivasi yang kuat dalam diri anak untuk belajar terus-menerus sepanjang hidupnya dan memberikan keterampilan kepada peserta didik, mengembangkan daya adaptasi yang besar dalam diri peserta didik.
• Sosial Budaya
Mengacu kepada hubungan antara individu dengan individu lainnya dalam suatu lingkungan atau masyarakat. Begitu juga hal nya dengan budaya, budaya masyarakat sangat berperan dalam proses pendidikan, karena budaya identik dengan adat dan kebiasaan. Apabila sosial budaya seseorang itu berjalan baik maka pendidikan akan mudah dicapai.
4. Tujuan pendidikan
Apakah Anda memahami tujuan pendidikan? Mengapa makna pendidikan dibedakan dengan pengajaran? Mengapa arti pendidik menjadi jauh lebih penting dari sekedar pengajar?
Ya, dalam pendidikan ikatan antara tanggung jawab dan proses pembelajaran serta hasil menjadi kesatuan utuh yang saling me engkapi.
Mendidik adalah kegiatan memberi pengajaran, membuat seorang memahami, dan dengan pemahaman yang dimiliki peserta didik dapat mengembangkan potensi diri dengan menerapkan apa yang dipelajari.
Proses itu dapat berlangsung seumur hidup dan pencapaian tujuan pendidikan tidak akan berhenti saat kehidupan seseorang berakhir.
Dalam kurikulum terbaru yang dirilis pemerintah saat ini, (KTSP -Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), sekolah menjadi penyelenggara pendidikan yang berhak menentukan sendiri indikator bagi setiap kompetensi dasar dari semua mata pelajaran.
Apakah hak itu digunakan untuk menentukan desain yang tepat dan selaras dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya?
Dalam minggu-minggu awal, peserta didik tingkat sekolah dasar akan dihadapkan dengan tiga tema sentral -mengenal diri, keluarga, dan lingkungan. Tentu saja tema yang dipilih itu baik adanya untuk memperkenalkan kehidupan kepada anak.
Tapi akan lebih baik lagi jika sebelum tema tersebut dipelajari, peserta didik dikenalkan kepada tema lain yang lebih mendasar dan mendalam, yaitu Sang Pencipta. Dengan demikian, mereka akan memahami keberadaan dirinya di alam semesta dan dilatih untuk memuliakan Tuhan dalam kesehariannya.
Dengan mempelajari tema dasar ini, peserta didik akan dibawa ke satu ruangan belajar yang lebih besar daripada ruang kelas. Seluruh alam adalah ruang kelas. Karena keterangan dan kisah tentang penciptaan ada di kitab suci, maka kitab suci haruslah memiliki porsi terbanyak dan terutama.
Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Tuhan dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.
Tujuan Pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia indonesia. Tujuan pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu menurut islam dan tujuan pendidikan secara umum.

A. Tujuan Pendidikan Dalam Islam
Tujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam lebih mengutamakan akhlak. Secara lebih luas pendidikan islam bertujuan untuk
• Pembinaan Akhlak
• Penguasaan Ilmu
• Keterampilan bekerja dalam masyarakat
• Mengembangkan akal dan Akhlak
• Pengajaran Kebudayaan
• Pembentukan kepribadian

B. Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat pada:
1. UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
2. Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani.

Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
3. TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945, Bab II (Pasal 2, 3, dan 4)


5. Landasan Dan Asas Pendidikan
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak darisejumlah landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan tersebut adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk mnjemput masa depan.
Bab III ini akan memusatkan paparan dalam berbagai landasan dan asas pendidikan, serta beberapa hal yang berkaitan dengan penerapannya. Landasan-landasan pendidikan tersebut adalah filosofis, kultural, psikologis, serta ilmiah dan teknologi. Sedangkan asas yang dikalia adalah asas Tut Wuri Handayani, belajar sepanjang hayat, kemandirian dalam belajar.
A. LANDASAN PENDIDIKAN
1. Landasan Filososfis
a. Pengertian Landasan Filosofis
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandanagan dalam filsafat pendidikan, meyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan Progresivisme dan Ekstensialisme
1. ¬Esensialisme
Esensialisme adalah mashab pendidikan yang mengutamakan pelajaran teoretik (liberal arts) atau bahan ajar esensial.

2. Perenialisme
Perensialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal.
3. Pragmatisme dan Progresifme
Prakmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional.
4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.
b. Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidkan Nasional
Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945. sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia.

2. Landasan Sosiolagis
a. ¬Pengertian Landasan Sosiologis
Dasar sosiolagis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan dan karakteristik masayarakat.Sosiologi pendidikan merupakan analisi ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiolagi pendidikan meliputi empat bidang:
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain.
2. hubunan kemanusiaan.
3. Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya.
4. Sekolah dalam komunitas,yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya.
b. Masyarakat indonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan komplek.
Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan KeBhineka tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah (umpamanya dengan pelajaran PPKn, Sejarah Perjuangan Bangsa, dan muatan lokal), maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 nonpenataran)
3. Landasan Kultural
a. Pengertian Landasan Kultural
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan/ dikembangkan dengan jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baiksecara formal maupun informal.
Anggota masyarakat berusaha melakukan perubahan-perubahan yang sesuai denga perkembangan zaman sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nlai-nilai, dan norma-norma baru sesuai dengan tuntutan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola-pola ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga.
b. Kebudayaan sebagai Landasan Sistem Pendidkan Nasional
Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebineka tunggal ikaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini harsulah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.
4. Landasan Psikologis
a. Pengertian Landasan Filosofis
Dasar psikologis berkaitan dengan prinsip-prinsip belajar dan perkembangan anak. Pemahaman etrhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan.
Sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik, sekalipun mereka memiliki kesamaan. Penyusunan kurikulum perlu berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar pengajaran serta tingkat kerincian bahan belajar yang digariskan.
b. Perkembangan Peserta Didik sebagai Landasan Psikologis
Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan menemukan keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu secara efektif dan efisien.
5. Landasan Ilmiah dan Teknologis
a. Pengertian Landasan IPTEK
Kebutuhan pendidikan yang mendesak cenderung memaksa tenaga pendidik untuk mengadopsinya teknologi dari berbagai bidang teknologi ke dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang berkaitan erat dengan proses penyaluran pengetahuan haruslah mendapat perhatian yang proporsional dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan hanya berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Selanjutnya pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.
b. Perkembangan IPTEK sebagai Landasan Ilmiah
Iptek merupakan salah satu hasil pemikiran manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang dimualai pada permulaan kehidupan manusia. Lembaga pendidikan, utamanya pendidikan jalur sekolah harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan iptek. Bahan ajar sejogjanya hasil perkembangan iptek mutahir, baik yang berkaitan dengan hasil perolehan informasi maupun cara memproleh informasi itu dan manfaatnya bagi masyarakat





B. ASAS-ASAS POKOK PENDIDIKAN
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusu s di Indonesia, terdapat beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Diantara asas tersebut adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan asas Kemandirian dalam belajar.
1. Asas Tut Wuri Handayani
Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sitem Among perguruan. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso.
Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu:
Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh)
Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat)
Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan)
2. Asas Belajar Sepanjang Hayat
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Kurikulum yang dapat meracang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal.
Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa depan.
Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.



3. Asas Kemandirian dalam Belajar
Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu suiap untuk ulur tangan bila diperlukan.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalamperan utama sebagai fasilitator dan motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang dalam melatih kemandirian belajar peserta didik adalah sitem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).




BAB 5
UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN
A. Peserta Didik
1. Pengertian Peserta Didik
Peserta didik adalah setiap manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Peserta didik juga dikenal dengan istilah lain seperi Siswa, Mahasiswa, Warga Belajar, Palajar, Murid serta Santri.
• Siswa adalah istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
• Mahasiswa adalah istilah umum bagi peserta didik pada jenjang pendidikan perguruan tinggi
• Warga Belajar adalah istilah bagi peserta didik nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
• Pelajar adalah istilah lain yang digunakan bagi peserta didik yang mengikuti pendidikan formal tingkat menengah maupun tingkat atas
• Murid memiliki definisi yang hampir sama dengan pelajar dan siswa.
• Santri adalah istilah bagi peserta didik pada jalur pendidikan non formal, khususnya pesantren atau sekolah-sekolah yang berbasiskan agama islam.
Pendidikan merupakan bantuan bimbingan yang diberikan pendidik terhadap peserta didik menuju kedewasaannya. Sejauh dan sebesar apapun bantuan itu diberikan sangat berpengaruh oleh pandangan pendidik terhadap kemungkinan peserta didik utuk di didik.
Sesuai dengan fitrahnya manusia adalah makhluk berbudaya, yang mana manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak mengetahui apa-apa dan ia mempunyai kesiapan untuk menjadi baik atau buruk.
2. Kebutuhan Peserta Didik
Pemenuhan kebutuhan siswa disamping bertujuaan untuk memberikan materi kegiatan setepat mungkin, juga materi pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan biasanya menjadi lebih menarik. Dengan demikian akan membantu pelaksanaan proses belajr-mengajar. Adapun yang menjadi kebutuhan siswa antara lain :
 Kebutuhan Jasmani
Hal ini berkaitan dengan tuntutan siswa yang bersifat jasmaniah.
 Kebutuhan Rohaniah
Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan siswa yang bersifat rohaniah
 Kebutuhan Sosial
Pemenuhan keinginan untuk saling bergaul sesasama peserta didik dan Pendidik serta orang lain. Dalam halini sekolah harus dipandang sebagai lembagatempat para siswa belajar, beradaptasi, bergaul sesama teman yang berbeda jenis kelamin, suku bangsa, agama, status sosial dan kecakapan.
 Kebutuhan Intelektual
Setiap siswa tidak sama dalam hal minat untuk mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan. Dan peserta didik memiliki minat serta kecakapan yang berbeda beda. Untuk mengembangkannya bisa ciptakan pelajaran-pelajaran ekstra kurikuler yang dapat dipilih oleh siswa dalam rangkan mengembangkan kemampuan intelektual yang dimilikinya.
3. Peserta Didik Sebagai Subjek Belajar
Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Didalam proses belajar-mengajar, peserta didik sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita dan memiliki tujuan dan kemudia ingin mencapainya secara optimal. Jadi dalam proses belajar mengajaryang perlu diperhatikan pertama kali adalah peserta didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain. Apa bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat dan fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus disesuaikan dengan keadaan ataukarakteristikpeserta didik. Itulah sebabnya peserta didik merupakan subjek belajar. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh peserta didik sebagai subjek belajar yaitu :
1. Mememahami dan menerima keadaan jasmani
2. Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya.
3. Mencapai hubungan yang lebih “matang” dengan orang dewasa
4. Mencapai kematangan Emosional
5. Menujukepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan finansial.
6. Mencapai kematangan intelektual
7. Membentuk pandangan hidup
8. Mempersiapkan diri untuk mendirikan rumah tangga sendiri.
4. Hakikat Peserta Didik Sebagai Manusia
Ada beberapa pandangan mengenai Hakikat Peserta Didik Sebagai Manusia yaitu:
 Pandangan Psikoanalitik
Beranggapan bahwa manusia pada hakiktanya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif.
 Pandangan Humanistik
Berpendapat bahwa manusia memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinya ketujuan yang positif. Oleh karenanya dikatakan bahwa manusia itu selalu berkembang dan berubah untuk menjadi pribadi yang lebih maju dan sempurna

 Pandangan Martin Buber
Berpendapat bahwa hakikat manusia tidak dapat dikatakan ini atau itu. Manusia merupakan suatu keberadaan yang berpotensi, namun dihadapkan pada kesemestaan alam, sehingga manusia itu terbatas.
 Pandangan Behavioristik
Pada dasarnya menganggap bahwa manusia spenuhnya adalah makhluk reaktif yangtingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang datang dari luar.

B. Pendidik
1. Hakekat Pendidik
Dikutip dari Abudin Nata, pengertian pendidik adalah orang yang mendidik.Pengertian ini memberikan kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata pendidik dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.
Jika menjelaskan pendidik ini selalu dikaitkan dengan bidang tugas dan pekejaan, maka fareable yang melekat adalah lembaga pendidika. Dan ini juga menunjukkan bahwa akhirnya pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada diri seseorang yang tugasnya adalah mendidik atau memberrikan pendidikan.

Dalam pengertian yang sederhana, pendidik adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik, sedangkan dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat – tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan A.
formal, tetapi bisa juga di mesjid, di surau/musala, di rumah, dan sebagainya.
2. Syarat pendidik
Menjadi pendidik menurut Prof. Dr. Zakariah Darajdat dan kawan-kawan (1992: 41) tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti di bawah ini :
a. Takwa kepada Allah SWT
b. Berilmu
c. Sehat jasmani
d. Berkelakuan baik
3. Tugas dan tanggung jawab pendidik
a. Tugas pendidik :
•Menyerahkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian, kecakapan, dan pengalaman-pengalaman.
•Membentuk kepribadian anak yang harmonis, sesuai cita-cita dan dasar negara kita pancasila.
•Menyiapkan anak menjadi warga negara yang baik sesuai Undang-Undang Pendidikan yang merupakan Keputusan MPR No. II Tahun 1983.
•Sebagai perantara dalam belajar.
•Pendidik adalah sebagai pembimbing, untuk membawa anak didik ke arah kedewasaan, pendidik tidak maha kuasa, tidak dapat membentuk anak menurut sekehendaknya.
•Pendidik sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat.
•Sebagai penegak disiplin, pendidik menjadi contoh dalam segala hal, tata tertib dapat berjalan bila pendidik dapat menjalani lebih dahulu.
•Pendidik sebagai administrator dan manajer
•Pendidik sebagai perencana kurikulum
•Pekerjaan pendidik sebagai suatu profesi Pendidik sebagai pemimpin
•Pendidik sebagai sponsor dalam kegiatan anak – anak
b. Tanggung jawab pendidik
Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, serta bertanggung jawab untuk membentuk anak didik agar menjadi orang bersusila yang cakap, berguna bagi agama, nusa, dan bangsa di masa yang akan datang.

C. Interaksi Edukatif
Menurut Syaiful Bahri Dajamarah (2008: 107) guru adalah alah satu unsur manusia lainnya adalah anak didik. Guru dan anak didik berada dalam suatu relasi kejiwaan. Keduanya berada dalam interaksi edukatif dengan tugas dan peranan yang berbeda. Guru mengajar, mendidik dan anak didik yang belajar dengan menerima bahan pengajaran dari guru di kelas.
Mengajar bukan tugas yang ringan bagi guru konsekuensi tanggung jawab guru juga berat. Di kelas guru akan berhadapan dengan sekelompok anak didik dengan segala persamaan dan perbedaannya. Karena tugas guru yang berat itu, maka mereka berprofesi sebagai guru harus memiliki dan menguasai serta memahami interaksi edukatif terutama dari aspek alat material serta selalu aktif kreatif menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar.
Dalam menyampaikan bahan pengajaran terkadang kata-kata atau kalimat guru kurang mampu mewakili sesuatu objek yang diberikan. Sehingga mengaburkan tentang objek yang disampaikan. Apalagi objek yang disampaikan itu tidak pernah dikenal oleh anak didik.
Kesalahan pengertian cendrung terjadi oleh anak didik. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalan tersebut menurut Syaiful Bahri Djamarah (2008: 110) adalah guru perlu menghadirkan alat material atau benda-benda yang asli (kalau bisa) untuk menunjukkan model, gambar, benda tiruan atau menggunakan media lainnya. Seperti radio, tape recorder, televisi dan sebagainya.
Dengan penjelasan yang mendekati reatistik ditambah menghadirkan bendanya, maka guru membantu anak didik membentuk pengertian didalam jiwanya terhadap suatu objek. Dengan cara ini guru dapat lebih menggairahkan belajar anak didik dalam waktu yang relatif lama dan cara ini merupakan suatu usaha untuk memancing perhatian anak didik dan merangsangnya untuk berpikir. Dengan demikian otomatis pengaruh yang dirasakan oleh anak didik dikelas adalah ia menjadi berminat, lebih perhatian dan bergairah terus dalam belajar, sehingga hasil yang diharapkan oleh si anak akan lebih baik.
Media sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka bahan pelajaran akan sulit untuk dicerna dan dipahami oleh setiap anak didik, terutama bahan pelajaran yang rumit dan kompleks.
Setiap materi memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi, sehingga pada satu sisi ada bahan pelajaran yang tidak membutuhkan media sebagai alat bantu. Tetapi dilain pihak ada bahan pengajaran yang sangat memerlukan alat bantu berupa media pengajaran seperti globe, papan tulis, gambar, diagram slide, grafik video dan sebagainya.
Bahan pengajaran dengan tingkat kesukaran yang tinggi tentu sukar diproses oleh anak didik. Apalagi siswa kurang berminat pada bahan pelajaran yang disampaikan.
Anak didik cepat merasa bosan dan kelelahan, akibat penjelasan guru yang mungkin sukar dicerna dan dipahami. Guru yang bijaksana tentu sadar bahwa kebosanan dan kelelahan anak didik adalah berpangkal dari penjelasan yang diberi guru bersimpang siur, tidak ada fokus masalahnya. Hal ini tentu saja harus dicarikan jalan keluarnya.jika guru tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan suatu bahan dengan baik, apa salahnya jika menghadirkan media sebagai alat bantu pengajaran guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelum pelaksanaan pengajaran.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (1997:138) Sebagai alat bantu, media memiliki fungsi melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pengajaran. Hal ini dilandasi dengan keyakinan bahwa proses belajar mengajar dengan bantuan media mempertinggi kegiatan belajar anak didik dalam waktu yang lama. Itu berarti kegiatan belajar mengajar dengan bantuan media akan menghasilkan proses yang lebih baik daripada tanpa bantuan media.
Walaupun begitu, penggunaan media sebagai alat bantu tidak sembarangan menurut kehendak guru. Tetapi harus memperhatikan dan mempertimbangkan tujuan. Media yang dapat menunjang tercapainya tujuan tentu lebih diperhatikan. Sedangkan media yang tidak menunjang harus disingkirkan untuk sementara. Selain itu kompetensi guru harus dipertimbangkan berkaitan dengan mampu tidaknya menggunakan dan memanfaatkan media tersebut. Jika tidak, maka jangan menggunakannya, sebab hal itu kan sia-sia. Malahan bisa mengacaukan jalannya proses belajar mengajar.
Akhirnya dapat dipahami bahwa media adalah alat bantu dalam proses belajar dan mengajar. Dan gurulah yang menggunakannya untuk membelajarkan anak didik demi tercapainya tujuan pengajaran.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2005: 212) media yang telah dikenal dewasa ini tidak hanya terdiri dari dua jenis, tetapi sudah lebih dari itu. Klasifikasinya bisa dilihat dari jenisnya, daya liputnya dan dari bahan serta dari cara pembuatannya. Semua ini akan dijelaskan pada pembahasan berikut.
Jenis dan Karakteristik Media Pembelajaran
1. Dilihat dari jenisnya, media dibagi ke dalam:
a) Media auditif
Media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, casset recorder, piringan hitam, dll. Media tidak cocok untuk orang tuli atau memiliki kelainan dalam pendengaran.

b) Media visual
Media yang hanya mengandalkan indra penglihatan. Media visual iini ada yang menampilkan gambar diam Misalnya gambar, foto atau lukisan. Ada pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti Film Bisu, film kartun.

c) Media audiovisual
Media Audiovisual adalah media yang mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan yang kedua. Media ini dibagi lagi ke dalam:
1) Audio visual diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti film bingkai suara, film rangkai suara, cetak suara.
2) Audio visual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video-casset
Pembagian lain dari media ini adalah:
a. Audiovisual murni, unsur suara dan gambar berasal dari satu sumber, seperti video-casset.
b. Audiovisual tidak murni, yaitu unsur gambar dan suara berasal dari sumber yang berbeda. Misalnya film bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slide proyektor dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder. Contohnya film strip suara dan cetak suara.

2. Dilihat dari daya liputnya, media dibagi dalam:
a. Media dengan daya liput luas dan serentak
Penggunaan media ini tidak tebatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau anak didik dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang sama, contohnya televisi dan radio.
b. Media dengan daya liput yang terbatas oleh ruang dan tempat
Media ini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti film , soundslide, film rangkai yang harus menggunakan tempat tertutup dan gelap.
c. Media untuk pengajaran individual
Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri, termasuk dalam media ini adalah modul berprogram dan pengajaran melalui komputer.
3. Dilihat dari bahan pembuatannya, media dibagi dalam:
a. Media sederhana
Media ini bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah, cara pembuatannya mudah dan penggunaannya tidak sulit.
b. Media kompleks
Media ini adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit serta mal harganya, sulit pembuatannya dan penggunaannya memerlukan keterampilan yang memadai.
Dari jenis-jenis dan karakteristik media sebagaimana disebutkan di atas, kiranya patut menjadi perhatian dan pertimbangan bagi guru ketika akan memilih dan mempergunakan media dalam pengajaran. Kararteristik media yang mana dianggap tepat untuk menunjang pencapaian tujuan pengajaran, itulah media yang seharusnya dipakai. Yang jelas ketika media tersebut digunakan pengaruhnya terhadap anak didik adalah timbulnya gairah belajar, perhatian, merangsang anak didik untuk berpikir dan bernalar.

D. Alat- alat Pendidikan

(Kewibawaan, Kewiyataan, Keteladanan, Penguatan, tindakan Tegas yang Mendidik)
Pendidik dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 didefinisikan dengan tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Pendidik yang merupakan pembahasan dalam penelitian ini adalah guru. Dalam keseharian kata “guru” dipakaikan untuk seseorang yang bertugas sebagai pendidik pada sekolah dasar sampai tingkat menengah.
Guru memiliki berbagai tugas selain sebagai pengajar juga sebagai pembimbing, pelatih, pembina, teman dan orang tua dari siswa. Membimbing adalah wewenang dan tanggung jawab guru dalam proses pembelajaran Depdikbud (1995:8). Tugas yang dilakukan guru tersebut secara umum sering dikatakan sebagai pengajar dan pendidik saja. Lebih jauh Dimyati dan Mudjiono (1998:238) menjelaskan bahwa guru adalah pendidik yang membelajarkan siswa. Tugas mendidik ini merupakan hal yang berat bagi guru, karena ia berkaitan dengan penanaman nilai, etika dan moral bagi anak/siswa.
Dalam proses pembelajaran menurut Depdikbud (1995:10), guru selain menggunakan alat pembelajaran dan bimbingan, Lebih jauh Prayitno (2003) mengatakan bahwa; guru juga menggunakan alat pendidikan dalam proses pembelajaran, yang akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan peserta didik sehingga memungkinkan peserta didik tercegah dari berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran.

Fungsi pencegahan, menurut Syahril dan Riska Ahmad (1986:59) adalah usaha yang dilakukan untuk tidak timbulnya hambatan/gangguan terhadap upaya pengembangan potensi siswa. Tujuan pencegahan menurut George Albee (dalam Prayitno & Erman Amti 1999:203) adalah untuk; (1) menghindari kondisi bermasalah pada diri siswa, (2) menurunkan faktor organik stres pada diri siswa, dan (3) meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan penilaian terhadap diri sendiri oleh siswa.
Studi yang dilakukan di Michigan, Philadelphia tentang anak yang ditelantarkan dan pengangguran memperlihatkan bahwa penyesuaian sosial mereka yang lebih baik serta pengendalian diri mereka lebih tinggi. Horner & McElhaney, Burns & Consolvo (dalam Prayitno 1992:205). Sedangkan program pencegahan bahaya alkohol, dan pencegahan bahaya AID, memperlihatkan bahwa program pencegahan membawa pengaruh positif, sehigga mereka mampu merencanakan hidup lebih baik dan lebih mampu mencari pekerjaan yang lebih baik dan besar bayarannya. House & Walter (dalam Prayitno 1993:205).
Sehubungan dengan fungsi pencegahan di atas, Prayitno dan Erman Amti (1999:203) menyatakan bahwa guru diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang baik yang akan memberikan pengaruh positif terhadap individu siswa. Oleh karena itu, lingkungan pembelajaran harus dipelihara dan dikembangkan. Data Balitbangdiknas (2002), bahwa kondisi ruang belajar nasional yang baik hanya 49,49 SD/SLTP dan 66,33 SLTA selebihnya masih kurang, hubungan guru dan murid yang kurang serasi, semuanya akan menimbulkan kesulitan bagi siswa dalam memperkembangkan dirinya secara optimal di sekolah. Studi yang dilakukan IKIP Surabaya 1995 (dalam Dirjen Dikdasmen 2004:9) menyimpulkan bahwa; siswa mengulang kelas disebabkan oleh ketidakmampuan mereka mengikuti proses pembelajaran di kelasnya disebabkan (1) pola pembelajaran kurang menarik, (b) bekal awal/prasyarat belajar kurang memadai (c) sarana yang dimiliki siswa dan sekolah kurang memadai. Dari sudut “pencegahan”, pola, sarana, dan suasana pembelajaran sebagaimana tersebut di atas perlu diperhatikan dan diperbaiki. (Dirjen Dikdasmen 2004:9)
Salah satu usaha guru dalam memperbaiki lingkungan sekolah tersebut di atas agar memberikan pengaruh yang membimbing kepada siswa adalah melalui penerapan alat-alat pendidikan dalam proses pembelajaran. Selanjutnya, Prayitno (2003) menyebutkan lima alat pendidikan yakni: kewibawaan, kasih sayang dan kelembutan, keteladanan, penguatan, dan ketegasan yang mendidik (membimbing). Alat-alat pendidikan tersebut, sekaligus dapat digunakan guru sebagai alat membimbing siswa dalam proses pembelajaran sehingga proses belajar tersebut menyenangkan bagi siswa dan memotivasinya untuk lebih giat dalam belajar.
a. Kewibawaan
Upaya untuk mencapai keberhasilan belajar mengajar di sekolah ditunjang oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kewibawaan. Kewibawaan yang efektif menurut Charles Schaefer (1996:86) didasarkan atas pengetahuan yang lebih utama atau keahlian yang dilaksanakan dalam suatu suasana kasih sayang dan saling menghormati. Karenanya, guru diharapkan memiliki kewibawaan agar mampu membimbing siswa kepada pencapaian tujuan belajar yang sesungguhnya ingin direalisasikan. Wens Tanlain dkk. (1996:78) lebih tegas menjelaskan bahwa kewibawaan adalah adanya penerimaan, pengakuan, kepercayaan siswa terhadap guru sebagai pendidik yang memberi bantuan, tuntunan dan nilai-nilai manusiawi.
Seorang guru menurut Hadiyanto (2004:30), merupakan manusia terhormat dalam segala aspek, yang harus menjadi suri tauladan di kelas dan di luar kelas, baik dalam hal kemampuan berpikir, bersikap, maupun bertutur kata yang tercermin dari tingkah lakunya.
T. Raka Joni (1982:65) menyatakan bahwa karakteristik guru meliputi: (a) penguasaan materi yang mantap, (b) sepenuh hati menyukai bidangnya, (c) menguasai pelbagai strategi pembelajaran, (d) mampu mengelola kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok dan individual (e) mengutamakan standar prestasi yang tinggi untuk siswa dan dirinya, dan (f) dekat dan suka bergaul dengan siswa. Dengan demikian, guru harus memiliki kemampuan, keterampilan, pandangan yang luas serta harus memiliki kewibawaan dan kesungguhan melaksanakan tanggung jawabnya.
Kewibawaan guru tersebut di atas harus didasarkan pada proses internalisasi pada diri peserta didik. Menurut T. Raka Joni (1985:66) bahwa proses internalisasi tercermin pada pendekatan guru yang dekat dengan siswa, luwes tetapi tegas dan sistematis dalam pengaturan kerja. Artinya bahwa proses internalisasi pada diri peserta didik berlangsung melalui diaktifkannya kekuatan yang ada pada mereka melalui pendekatan yang digunakan guru yaitu kekuatan berpikir, merasakan dan berpengalaman yang semuanya itu terpadu dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap apa yang akan dilakukan.
Prayitno (2002:14) menyatakan bahwa dalam proses pendidikan ada kedekatan antara pendidik dan peserta didik. Hubungan antara pendidik dan peserta didik haruslah mengarah kepada tujuan-tujuan instrinsik pendidikan, dan terbebas dari tujuan-tujuan ekstrinsik yang bersifat pamrih untuk kepentingan pribadi pendidik. Lebih jauh Prayitno (2002:14) menjelaskan bahwa pamrih-pamrih yang ada, selain dapat merugikan dan membebani peserta didik, merupakan pencederaan terhadap makna pendidikan dan menurunkan kewibawaan pendidik. Sejalan dengan itu, Muhibbin Syah (1997:221) menyatakan bahwa wibawa guru di mata murid kian jatuh. Khususnya di sekolah-sekolah kota yang hanya menghormati guru apabila ada maksud-maksud tertentu seperti untuk mendapatkan nilai tinggi dan dispensasi.
Syaiful Bahri Jamarah (1994:64) mengemukakan:
Wibawa dan citra guru harus ditegakkan, namun tidaklah dapat dipungkiri bahwa kenyataan citra guru berubah sesuai perubahan sosiokultural masyarakat, sehingga citra guru larut dalam perubahan. Tentu yang perlu dipikirkan bahwa perubahan sosiokultural akan terus berlanjut, gurupun perlu mengambil hikmahnya dan menerima perubahan tersebut dari segi-segi positifnya, agar citra guru berubah kearah yang lebih baik sehingga tidak merusak citra dan wibawa guru.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewibawaan adalah merupakan tonggak utama yang harus dimiliki seorang guru sebagai pendidik dan pembimbing. Dengan kewibawaan yang dipunyai guru berarti memiliki kemampuan lebih, berpenampilan menarik, mempunyai kekuatan dan keahlian yang berhubungan dengan pembelajaran yang meliputi: penguasaan materi pelajaran, kemampuan mengelola kelas, kedekatan dengan siswa, bertanggungjawab dan sungguh-sungguh, sehingga dengan demikian guru akan dijadikan sebagai panutan, contoh, bapak, dan teman yang disegani oleh siswa. Maka guru yang memiliki wibawa dalam pembelajaran akan mengutamakan pembelajarannya lebih bersifat sosial-psikologis-akademik; bukan material-ekonomis-fisik; intensitas pembela-jaran disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik, tidak terkesan memanjakan (karena terlalu banyak) atau mengabaikan (karena terlalu sedikit).
b.Kewiyataan (kasih sayang dan kelembutan)
Dalam proses pembelajaran di kelas, Jalaluddin Rahmat (1985:53) menyatakan bahwa:
Interaksi dalam proses pembelajaran merupakan suatu hubungan interpersonal yang untuk mengembangkannya menjadi suatu pola kerjasama yang baik diperlukan syarat sebagai berikut: (1) sikap percaya, (2) sikap sportif, dan (3) sikap terbuka. Dengan adanya sikap percaya, sportif dan terbuka akan mengarah kepada hubungan atau interaksi pembelajaran yang menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati yang pada akhirnya akan bermuara pada timbulnya rasa kasih sayang antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut Puskurbangdik (2002) guru diharapkan mewarnai proses pembelajaran dengan menyenangkan, sifat rasa kasih sayang, kelembutan, dan suasana menyejukkan dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik. Menurut (Benjamin Spock 1982:58), kasih sayang dan kelembutan akan mendorong lusinan tindakan yang spontan dan produktif dari peserta didik.
Sehubungan dengan kasih sayang dan kelembutan, Prayitno (2002) menyatakan bahwa;
dapat terwujud melalui ketulusan, penghargaan, dan pemahaman secara empatik terhadap siswa sebagai pribadi. Hal itu semua, tidak mungkin diwujudkan melalui kekerasan, amarah, arogansi, kemunafikan, atau kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung, nyata atau terselubung, merugikan dan/atau menyulitkan peserta didik.
Menurut Watten B. (dalam Sahertian 1994) bahwa guru adalah pembawa rasa kasih sayang, pembina dan pemberi layanan.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Muhhamad Suwaid (2002:41) bahwa; kasih sayang dan sikap lemah lembut, dan ramah yang dimiliki guru, akan membuat peserta didik mendapatkan rasa aman, nyaman dan tenteram dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Perasaan menyenangkan dan suasana penuh keakraban dalam proses pembelajaran menurut Fuad bin Abdul Aziz Al-Syaihub (2005:26) akan mengusir kebosanan dan memberikan sedikit rasa segar kepada siswa dan merubah suasana kering menjadi hangat dan santai.
Dari pendapat dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, apabila telah terjalin ikatan kasih sayang dan kelembutan cinta antara guru dan siswa akan menimbulkan rasa percaya, terbuka, menghormati dan menghargai guru. Dengan demikian kasih sayang, kelembutan dan suasana pembelajaran yang didapatkan siswa merupakan bentuk bimbingan dari guru, akan mampu merangsang siswa untuk memberikan reaksi posistif, tindakan-tindakan kreatif, pengetahuan dan pemikiran baru yang lebih maju dalam mencapai kemandirian, khususnya belajar.
c.Keteladanan
Menciptakan sumber daya manusia (siswa) yang berkualitas, guru dituntut menjadi sosok yang ideal.. Guru diharapkan sebagai sosok yang dapat “digugu” dan “ditiru” Supriadi (dalam Hadiyanto 2004:11). Dalam proses pembelajaran dewasa ini keteladanan guru terhadap siswa baik dalam bersikap maupun bertutur kata semakin menurun, Menurut Prayitno (2002:23), hal ini tidak boleh terjadi, karena keteladanan guru terhadap diri siswa ini pada awalnya dimulai melalui proses peniruan siswa terhadap guru yang menjadi panutan mereka.
Menurut Moh. Uzer Usman (1995:13), guru harus senantiasa memberikan keteladan yang baik kepada peserta didik. Lebih jauh Ghouzali Saydam (1996:414) menyatakan bahwa ketauladanan sangat penting dalam pembentukan dan pembinaan sumber daya manusia. Peranan ketauladanan amat menentukan keberhasilan seorang guru terhadap peserta didiknya.
Prayitno (2002:23) menyatakan bahwa siswa cenderung meniru pendidik yang sukses. Pendidik sukses adalah teladan bagi peserta didik. Lanjut Charles Schaefer (1996:16) bahwa:
Anak-anak merupakan peniru terbesar di dunia ini. Mereka terus-menerus meniru apa yang dilihat dan menyimpan apa yang mereka dengar. Contoh teladan dapat lebih efektifr daripada kata-kata, karena teladan itu menyediakan isyarat-isyarat non verbal yang berari menyediakan contoh yang jelas untuk ditiru.
Pendidik sukses menurut Prayitno (2002:23), perlu menjalankan berbagai peran yang keseluruhannya tertuju kepada keberhasilan peserta didik. Oleh karena itu, menurut Wens Tanlain dkk. (1996:54), guru diharapkan dapat menampilkan prilaku yang dapat dijadikan sebagai contoh, panutan dan keteladanan bertingkahlaku bagi siswa dalam kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Posisi guru faktor penting/utama dalam proses pembelajaran. Seperti pernyataan Hadi Supeno (1999:39) guru secara umum tetap memegang sentral utama dalam proses pendidikan persekolahan, walaupun dalam proses pendidikan modern siswa lebih banyak belajar mandiri. Kehadiran guru sebagai tokoh, panutan dan keteladanan serta pembimbing tidak dapat diganti dengan sumber-sumber belajar lainnya.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pendapat di atas, adalah bahwa keteladan guru dalam pendidikan/proses pembelajaran, merupakan hal yang mutlak adanya ditinjau dari segi penampilan, cara berpakaian, bersikap, tutur bahasa atau perkataannya, kedisiplinan dan tanggungjawab. Dalam arti menyangkut perkataan, perbuatan dan tingkah laku guru dalam keseharian, terutama tentunya dalam proses pendidikan.
d. Penguatan
Dalam proses pembelajaran, penguatan atau reinforcement adalah sesuatu hal yang penting dalam memberikan motivasi yang lebih kuat pada siswa. Ellis (1978:20) mendefinisikan reinforcement sebagai berikut: A reinforcer is any event which, when occurring in close temporal relationship to a response, increases the likelihood that the response will be repeated in the future. Penguatan adalah semua peristiwa yang terjadi dalam rentangan waktu yang terdekat untuk meningkatkan kecenderungan pengulangan respon yang telah dilakukan.
Sama dengan yang dikemukakan Prayitno (2002:34) bahwa:
Penguatan (reinforcement) merupakan upaya untuk mendorong diulanginya lagi (sesering mungkin) tingkah laku yang dianggap baik oleh si pelaku. Penguatan diberikan dengan pertimbangan: tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya.
Lefrancois (1994), menyatakan bahwa secara umum ada dua bentuk penguatan atau reinforcement yaitu reinforcement positif dan negatif. Wolfolk (1995) juga menyatakan bahwa reinforcement kepada siswa dalam proses pembelajaran dapat diberikan melalui perhatian yang memadai dari guru kepada siswa. Reinforcement juga dirasakan penting terutama dalam proses pembelajaran sosial. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Roger (1990) bahwa reinforcement dan pemberian respon merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembelajaran terhadap siswa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat dinyatakan bahwa reinforcement yang diberikan kepada siswa baik positif maupun negatif dengan prosedur yang tepat akan dapat memberikan manfaat dalam proses pembelajaran siswa.
Selain hal di atas, dalam proses pembelajaran guru juga tidak terlepas dari penerapan prinsip-prinsip belajar. Dimyati & Muljiono (1999:42) menyebutkan prinsip belajar antara lain adalah: 1) perhatian dan motivasi, 2) keaktifan, 3) keterlibatan langsung/pengalaman, 4) pengulangan, 5) tantangan, 6) balikan dan penguatan, 7) perbedaan individu. Implikasi prinsip belajar tersebut bagi guru adalah pemberian perhatian dan motivasi sebagai penguatan bagi diri individu (siswa) terhadap prestasi maupun hal-hal positif yang telah dilakukan atau dicapainya.
Kesimpulan, bahwa guru yang membimbing adalah guru yang mampu memberikan penguatan secara tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya pada siswanya. Dalam arti kapan, siapa siswanya dan hal seperti apa yang seharusnya diberikan penguatan secara posistif; dalam arti agar siswa tersebut mengulangi dan mempertahankan hal-hal baik yang telah diperolehnya, dan memberikan penguatan negatif; agar siswa meninggalkan hal-hal negatif dan berupaya melakukan perbaikan kepada hal-hal yang positif. Sehingga siswa merasa diperhatikan, dibimbing, diarahkan dan dimotivasi untuk melakukan tindakan pengembangan, pengayaan dan perbaikan (remedial) untuk dirinya.
e. Tindakan tegas yang mendidik
Pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan peserta didik tidak selayaknya diabaikan atau dibiarkan, melainkan diperhatikan dan ditangani atau diberikan tindakan tegas secara proporsional. Menurut Thomas Amstrong (2003:160) yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan tindakan terhadap kondisi yang berbeda dari setiap siswa. Menurut Wens Tanlain dkk. (1996:56) tindakan tegas mendidik dapat berupa teguran dan hukuman. Teguran digunakan untuk mengoreksi tingkah laku yang tidak sesuai dengan perintah atau larangan, yang bertujuan menyadarkan anak didik dari tingkah laku kurang tepat serta akibatnya. Masih menurut Wens Tanlain dkk. (1996:57), hukuman adalah merupakan alat pendidikan istemewa sebab membuat anak didik menderita. Hukuman diberikan pada siswa karena melakukan kesalahan, agar siswa tidak lagi melakukannya.
Pelaksanaan hukuman sebaiknya dihindari. Menurut Davis (1989:65) hukuman dapat menyakitkan secara fisik maupun psikologis. Lebih jauh Hasan Langgulung (1995:44) mengatakan bahwa hukuman jasmani telah dikritik pendidik modern, karena menimbulkan kebencian murid kepada guru. Syaiful Bahri Jamarah (1994:47) menegaskan bahwa hukuman yang tidak mendidik adalah berupa memukuli siswa yang bersalah hingga mengalami luka. Tindakan tidak mendidik ini konsekunsinya, siswa akan memusuhi guru dan prestasi belajar dengan guru yang pernah memukulnya menjadi rendah.
Hal yang sama dengan Wens Tanlain dkk. (1996:57) menyatakan bahwa sebaiknya hindari menggunakan tindakan tegas yang berhubungan dengan badan dan perasaan, karena dapat mengganggu hubungan kasih sayang antara guru (pendidik) dengan siswa.
Tindakan tegas guru terhadap pelanggaran atau kesalahan terhadap peserta didik (siswa) perlu dilaksanakan. Dikatakan Charles Schaefer (1996:113) makin cepat anak menerima sanksi (hukuman) sesudah satu tingkah laku, maka makin efektif sanksi-sanksi itu mengubah tingkah laku itu. Lebih jauh Benyamin Spock (1982:259) menyatakan bahwa tindakan semacam itu akan mampu membentuk watak siswa yang memiliki budi pekerti baik. Kalau guru telah segan bertindak tegas terhadap siswa maka kewibawaan mereka akan berkurang.
Menurut Thomas Amstrong (2003:161) ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk menangani perilaku siswa yaitu: (a) bicara kepada siswa, (b) memberikan contoh atau teladan bagi siswa, (c) sediakan konseling pribadi, (d) buat konseling bersama teman-teman sebaya, dan (e) kembangkan kontak pribadi guru dengan siswa.
Kesimpulan, bahwa tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan pelanggaran atau kesalahan, perlu dilaksanakan dengan pendekatan yang bermuatan pendidikan agar dapat mendorong si pelanggar untuk menyadari kesalahannya dan memiliki komitmen untuk memperbaiki diri sehingga pelanggaran atau kesalahan itu tidak terulang lagi. Penggunaan tindakan tegas yang mendidik terhadap siswa, akan tetap menyuburkan kasih sayang, dapat menyadarkan siswa akan kesalahannya, mengembangkan hubungan yang harmonis dengan siswa, dan mampu membentuk budi pekerti yang baik pada siswa, serta tetap menghargai dan menghormati guru, sehingga kewibawaan guru tetap terpelihara.
E. Aspek Lingkungan
Salah satu puncak perkembangan pendidikan lingkungan adalah dirumuskannya tujuan pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED adalah sebagai berikut:
Pendidikan lingkungan Hidup (environmental education – EE) adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco, (1978)]
PLH memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact, serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh karena itu, PLH perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan yang dapat meningkatkan ?kemampuan memecahkan masalah?.
Beberapa ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut ini.
• Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desain grafis;
• Investigasi (investigation): merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data;
• Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama.
Pendidikan lingkungan hidup haruslah:
1. Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
2. Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
3. Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
4. Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
5. Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
6. Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
7. Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;
8. Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
9. Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
10. Membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
11. Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
12. Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first – hand experience).
Karena langsung mengkaji masalah yang nyata, PLH dapat mempermudah pencapaian ketrampilan tingkat tinggi (higher order skill) seperti :
1. berfikir kritis
2. berfikir kreatif
3. berfikir secara integratif
4. memecahkan masalah.
Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah :
1. Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan
2. Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan
3. Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman hayati, dan Penataan ruang
Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu ?commencement?, yang selalu ?mulai dan mulai lagi?, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (in erent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat ?kesadaran naif? sampai ke tingkat ?kesadaran kritis?, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?kesadarannya kesadaran? (the consice of the consciousness).
Joseph Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang terkenal dengan permainan di alam yang dikembangkannya sangat memahami psikologi ini. Sekitar tahun 1979 ia mengembangkan konsep belajar beralur (flow learning).
Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyingkronkan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah:
• Aspek afektif: perasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga
• Aspek kognitif: proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain
• Aspek sosial: perasaan diterima dalam kelompok
• Aspek sensorik dan monotorik: bergerak dan merasakan melalui indera, melibatkan peserta sebanyak mungkin
• Aspek lingkungan: suasanan ruang atau lingkungan







BAB 6
SISTEM PENDIDIKAN


A. Pengertian Sistem
Sistem merupakan istilah yang memiliki makna sangat luas dan dapat digunakan sebagai sebutan yang melekat pada sesuatu. Kita dapat mengatakan bahwa sebuah sepeda motor itu merupakan suatu sistem, yang kemudian orang menyebut dengan sistem sepeda motor.
Suatu perkumpulan atau organisasi adalah sebagai sistem, yang kemudian orang menyebutnya dengan istilah sistem organisasi. Pendidikan sebagai sebuah sistem, yang kemudian orang menyebutnya dengan sistem pendidikan. Begitu seterusnya, bahwa setiap jenis organisasi apapun bentuknya disebut sistem.
Definisi sistem diantaranya adalah :
• Menurut Bela H. Banathy dalam bukuya Instructional sistem mengemukakan bahwa : “sistem adalah satuan / kaitan obyek-obyek yang disatukan oleh suatu betuk interaksi atau suatu bentuk saling ketergantungan”.
• Menurut Suhardjo (1985),
Sistem adalah kesatuan fungsional daripada unsur-unsur (aspek-aspek) yang kaedah untuk mencapai tujuan.
Pengertian kedua ini lebih menunjukkan kejelasan, diantaranya : sistem terdiri dari unsur-unsur, fungsi dari masing-masing unsur, ada kesatuan fungsi dari setiap unsur, dan ada tujuan yang ingin dicapai.

B. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem adalah cara-cara berfikir dan bekerja yang menggunakan konsep-konsep teori sistem yang relevan dalam memecahkan masalah.
Adapun Tipe-tipe dalam sistem adalah :


1. Filsafat sistem
Pendekatan sistem yang bertitik tolak konseptual atau teoritis, dengan mempergunakan metode kognitif atau berfikir mencerminkan suatu untuk menggambarkan rancang bangunnya

2. Managemen sistem
Pendekatan sistem yang bertitik tolak pragmatis atau mencari manfaat, dengan mempergunakan metode sintetis atau memadukan unsur-unsur menjadi kesatuan, untuk mengintegrasikan operasi-operasi kerja melalui perancangan operasional yang menekankan pada jaringan hubungan unsur-unsurnya

3. Analisis sistem
Pendekatan sistem yang bertitik tolak pada optimalisasi penggunaan sumber-sumber yang tersedia dengan memperugunakan metode penyusunan model-model kerja untuk mencapai tujuan-tujuan yang efektif dan efisien dalam penggunaan sumber-sumber yang tersedia.


C. Teori sistem
1. Karakteristik teori system
a. Keseluruhan adalah hal yang utama dan bagian-bagian adalah hal yang kedua
b. Integrasi adalah kondisi saling hubungan antara bagian-bagian dalam satu sistem
c. Bagian-bagian membentuk sebuah keseluruhan yang tidak dapat di pisahkan
d. Bagian-bagian memainkan peranan mereka dalam kesatuannya untuk mencapai tujuan dari keseluruhan
e. Sifat bagian dan fungsinya dalam keseluruhan dan tingkah lakunya di atur oleh keseluruhan terhadap hubungan-hubungan bagiannya
f. Keseluruhan adalah sebuah sistem atau sebuah komplek atau sebuah konfigurasi dari enegri dan berperilaku seperti suatu unsure tunggal yang tidak komplek
g. Segala sesuatu haruslah di mulai dari keseluruhan sebagai suatu dasar, dan bagian-bagian serta hubungan-hubungan, baru kemudian terjadi secara berangsur-angsur

2. Karakteristik umum system
a. Cenderung ke arah entropi,
Semua sistem cenderung menuju pada suatu keadaan terpecah belah, tidak teratur, lamban, dan akhirnya mati.
b. Hadir dalam ruang waktu
Semua sistem berada dalam ruang waktu, atau berada dalam rangkaian waktu yang tidak dapat di hentikan
c. Mempunyai batas-batas
Semua sistem mepunyai batas-batas yang tidak menetap tapi berubah-ubah
d. Mempunyai lingkungan
Semua sistem mempunyai sebuah lingkungan atau sesuatu yang berada di luarnya. Semua sistem mempunyai lingkungan proksimal( lingkungan yang di sadari oleh sistem ), dan lingkungan distal ( lingkungan yang tidak di sadari oleh sistem )
e. Mempunyai variable dan parameter
Semua sistem mempunyai factor-faktor yang mempengaruhi struktur dan fungsi dari sistem.faktor-faktor dalam sistem adalah variable, dan factor-faktor di luar sistem adalah parameter
f. Mempunyai subsistem
Semua sistem termasuk sistem yang paling kecil sekalipun mempunyai subsistem dan setiap subsistem merupakan sebuah kesatuan yang terbatas terbentuk dari bagian-bagian dan karakteristik-karakteristik tertentu
g. Mempunyai suprasistem
Semua sistem, kecuali sistem yang terbesar dan beberapa tertutup mempunyai suprasistem atau sistem yang lebih besar.


3. Tipe-Tipe Sistem
1. Sistem alami dan sistem buatan
a. Sistem alami
Sistem ini merupakan benda-benda atau peristiwa-peristiwa alam yang bekerja berdasarkan hukum-hukum alam dan hubungan antara masukan dengan hasil dapat di ramalkan secara ilmiah
b. Sistem buatan
Sistem yang dirancang, dilaksanakan, dan dikendalikan oleh manusia dan hubungan antara masukan yang di ambil dari sistem alami dengan hasil yang di atur oleh manusia.

2. Sistem tertutup dan sistem terbuka
a. Sistem tertutup
Sistem yang tersruktus organisasi bagian-bagiannya tidak mudah menyeseuaikan diri dengan lingkungannya, sekurang-kurangnya dalam jangka waktu pendek struktur bagian-bagian tersusun secara tetap dan bentuk operasinya berjalan otomatis
b. Sistem terbuka
Sistem yang struktur bagian-bagiannya terus menyesuaikan diri dengan masukan dari lingkungan yang terus menerus berubah ubah dalam usaha dapat mencapai kapasitas optimalnya. Struktur bagian-bagian bersifat lentur dan bentuk operasinya dinamis karena bagian-bagian dalam sistem dapat berubah karakteristik dan posisi


D. Sistem Pendidikan
Pendidikan sebagai suatu sistem di samping mempunyai sub-sub sistem pendidikan, juga merupakan subsistem (bagian) dari supra sistem . sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam supra sistem (masyarakat) itu terdapat beberapa sistem misalnya : sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan sistem keamanan,dll. Masing-masing sistem dalam supra sistem tersebut terdiri dari sub-sub sistem, begitu pula sistem pendidikan yang di dalamnya juga terdapat sub-sub sistem. Tirtarahardja (1994: 64) telah memberikan gambaran sebagai berikut:

E. Komponen- komponen Sistem Pendidikan
Komponen adalah bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat diaktan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik, komponen-komponen itu yakni:
1) Tujuan Pendidikan,
2) Peserta Didik,
3) Pendidik,
4) Interaksi Edukatif Pendidik dan Anak Didik
5) Isi Pendidikan
6) Lingkungan Pendidikan

1) Tujuan Pendidikan
Tingkah laku manusia, secara sadar maupun tidak sadar tentu berarah pada tujuan. Demikian juga halnya tingkah laku manusia yang bersifat dan bernilai pendidikan. Keharusan terdapatnya tujuan pada tindakan pendidikan didasari oleh sifat ilmu pendidikan yang normatif dan praktis. Sebagai ilmu pengetahuan normatif, ilmu pendidikan merumuskan kaidah-kaidah; norma-norma dan atau ukuran tingkahlaku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia.
Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat (Syaifulah, 1981).
Langeveld mengemukakan jenis-jenis tujuan pendidikan terdiri dari tujuan umum, tujuan tak lengkap, tujuan sementara, tujuan kebetulan dan tujuan perantara. Pembagian jenis-jenis tujuan tersebut merupakan tinjauan dari luas dan sempit tujuan yang ingin dicapai.
Urutan hirarkhis tujuan pendidikan dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan yang terjabar mulai dari 1) Cita-cita nasional/tujuan nasional (Pembukaan UUD 1945), 2) Tujuan Pembangunan Nasional (dalam Sistem Pendidikan Nasional), 3) Tujuan Institusional (pada tiap tingkat pendidikan/sekolah), 4) Tujuan kurikuler (Pada tiap-tiap bidang studi/mata pelajran atau kuliah), dan 5) Tujuan instruksional yang dibagi menjadi dua yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Denga demikian tampak keterkaitan antara tujuan instruksional yang dicapaiguru dalam pembelajaran dikelas, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari falsafah hidup yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

2) Peserta Didik,
Perkembangan konsep pendidikan yang tidak hanya terbatas pada usia sekolah saja memberikan konsekuensi pada pengertian peserta didik. Kalau dulu orang mengasumsikan peserta didik terdiri dari anak-anak pada usia sekolah, maka sekarang peserta didik dimungkinkan termasuk juga didalamnya orang dewasa. Mendasarkan pada pemikiran tersebut di atas maka pembahasan peserta didik seharusnya bermuara pada dua hal tersebut di atas.
Persoalan yang berhubungan dengan peserta didik terkait dengan sifat atau sikap anak didik dikemukakan oleh Langeveld sebagai berikut :
Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, oleh sebab itu anak memiliki sifat kodrat kekanak-kanakan yang berbeda dengan sifat hakikat kedewasaan. Anak memiliki sikap menggantungkan diri, membutuhkan pertolongan dan bimbingan baik jasmaniah maupun rohaniah. Sifat hakikat manusia dalam pendidikan ia mengemukakan anak didik harus diakui sebagai makhluk individu dualitas, sosialitas dan moralitas. Manusia sebagai mahluk yang harus dididik dan mendidik.
Sehubungan dengan persoalan anak didik di sekolah Amstrong 1981 mengemukakan beberapa persoalan anak didik yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan anak didik ? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah ? dan bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah ? Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak didik.

3) Pendidik
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah saja. Ditinjau dari lembaga pendidikan muncullah beberapa individu yang tergolong pada pendidik. Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal sebagai pendidik di lingkungan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidik adalah 1) orang dewasa, 2) orang tua, 3)guru/pendidik, dan 4) pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin keagamaan.

4) Interaksi Edukatif Pendidik dan Anak Didik
Proses pendidikan bisa terjadi apabila terdapat interaksi antara komponen-komponen pendidikan. Terutama interaksi antara pendidik dan anak didik. Interaksi pendidik dengan anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Tindakan yang dilakukan pendidik dalam interaksi tersebut mungkin berupa tindakan berdasarkan kewibawaan, tindakan berupa alat pendidikan, dan metode pendidikan.

5) Isi Pendidikan.
Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/bahan yang biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan formal. Isi pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan manusia ideal yang dicita-citakan. Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan. Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama., pendidikan moril, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan dan pendidikan jasmani.

6) Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan kebudayaan yang terdiri dari lingkungan kurtural ideologis, lingkungan sosial politis, lingkungan sosial anthropologis, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan iklim geographis. Ditinjau dari hubungan lingkungan dengan manusia dapat dikelompokkan menjadi lingkungan yang tidak dapat diubah dan lingkungan yang dapat diubah atau dipengaruhi, dan lingkungan yang secara sadar dan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dari sudut tinjauan lain Langeveld lingkungan pendidikan menjadi lingkungan yang bersifat pribadi atau pergaulan dan lingkungan yang bersifat sesuatu yang ada di sekeliling anak.











BAB 7
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Pengertian
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.

Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan.

Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna.

Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:

1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan

berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi :

1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9. pelaksanaan wajib belajar;
10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11. pemberdayaan peran masyarakat;
12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehubungan dengan hal-hal di atas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti.




B. Undang-Undang SISDIKNAS
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang ;
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ;
3. Sistem pendidikkan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional ;
4. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya;
5. Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditempatkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran;
6. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;
7. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan;
8. Tenaga pendidikan adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik;
9. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar;
10. Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana, dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;
11. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional.
Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan
Pasal 2
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.
Pasal 4
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Bab III. Hak Warga Negara untuk Memperoleh Pendidikan
Pasal 5
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk nemperoleh pendidikan.
Pasal 6
Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.
Pasal 7
Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 8
1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa.
2. Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab IV. Satuan, Jalur, dan Jenis Pendidikan
Pasal 9
1. Satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah.
2. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan bersinambungan.
3. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan sejenis.
Pasal 10
1. Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.
2. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan bersinambungan.
3. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
4. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tidak menyangkut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
1. Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
2. Pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat- tingkat akhir masa pendidikan.
3. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu.
4. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
5. Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Depatemen Pemerintah atau Lembaga Pemerintah Non Departemen.
6. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
7. Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.
8. Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.
9. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab V. Jenjang Pendidikan
Bagian Kesatu Umum
Pasal 12
1. Jenjang pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2. Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah.
3. Syarat-syarat dan tata cara pendirian serta bentuk satuan, lama pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pendidikan Dasar
Pasal 13
1. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
2. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, bentuk satuan, lama pendidikan dasar, dan penyelenggaraan pendidikan dasar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
1. Warga negara yang berumur 6 (enam) tahun berhak mengikuti pendidikan dasar.
2. Warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat.
3. Pelaksanaan wajib belajar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pendidikan Menengah
Pasal 15
1. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
2. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan.
3. Lulusan pendidikan menengah yang memenuhi persyaratan berhak melanjutkan pendidikan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Pendidikan Tinggi
Pasal 16
1. Pendidikan tinggi merupakan kelanjutkan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyakarat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.
2. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
3. Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesenian tertentu.
4. Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
5. Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu.
6. Institut merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.
7. Unversitas merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu.
8. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, struktur perguruan tinggi dan penyelenggaraan pendidikan tinggi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
1. Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
2. Sekolah tinggi, institut, dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/ atau profesional.
3. Akademi dan politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional.
Pasal 18
1. Pada perguruan tinggi ada gelar sarjana, magister, doktor, dan sebutan profesional.
2. Gelar sarjana hanya diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.
3. Gelar magister dan doktor diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas yang memenuhi persyaratan.
4. Sebutan profesional dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional.
5. Institut dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan ataupun kebudayaan.
6. Jenis gelar dan sebutan, syarat-syarat dan tata cara pemberian, perlindungan dan penggunaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
1. Gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan digunakan oleh lulusan perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memiliki gelar dan/atau sebutan yang bersangkutan.
2. Penggunaan gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan atau dalam bentuk singkatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 20
Penggunaan gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diperoleh dari perguruan tinggi di luar negeri harus digunakan dalam bentuk asli sebagaimana diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan, secara lengkap ataupun dalam bentuk singkatan.
Pasal 21
1. Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor.
2. Pengangkatan guru besar atau profesor sebagai jabatan akademik didasarkan atas kemampuan dan prestasi akademik atau keilmuan tertentu.
3. Syarat-syarat dan tata cara pengangkatan termasuk penggunaan sebutan guru besar atau profesor ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
2. Perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab VI. Peserta Didik
Pasal 23
1. Pendidikan nasional bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 24
Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak berikut:
1. mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
2. mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan;
3. mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku;
4. pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki;
5. memperoleh penilaian hasil belajarnya;
6. menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan;
7. mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.
Pasal 25
1. Setiap peserta didik berkewajiban untuk
1. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2. mematuhi semua peraturan yang berlaku;
3. menghormati tenaga kependidikan;
4. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban, dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 26
Peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing- masing.
Bab VII. Tenaga Kependidikan
Pasal 27
1. Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
2. Tenaga kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
3. Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen.
Pasal 28
1. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada suatu jenis dan jenjang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar.
2. Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar.
3. Pengadaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada dasarnya diselenggarakan melalui lembaga pendidikan tenaga keguruan.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
1. Untuk kepentingan pembangunan nasional, Pemerintah dapat mewajibkan warga negara Republik Indonesia atau meminta warga negara asing yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian tertentu menjadi tenaga pendidik.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak- hak berikut:
1. memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial :
a. tenaga kependidikan yang memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan peraturan umum yang berlaku bagi pegawai negeri;
b. Pemerintah dapat memberi tunjangan tambahan bagi tenaga kependidikan ataupun golongan tenaga kependidikan tertentu;
c. tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memperoleh gaji dan tunjangan dari badan/perorangan yang bertanggung jawab atas satuan pendidikan yang bersangkutan;
2. memperoleh pembinaan karir berdasarkan prestasi kerja;
3. memperoleh perlindungan hukum dalam melakukan tugasnya;
4. memperoleh penghargaan seuai dengan darma baktinya;
5. menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
Pasal 31
Setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk :
1. membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. menjunjung tinggi kebudayaan bangsa;
3. melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian;
4. meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa;
5. menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasal 32
1. Kedudukan dan penghargaan bagi tenaga kependidikan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasinya.
2. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Pemerintah.
3. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Bab VIII. Sumber Daya Pendidikan
Pasal 33
Pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan/atau keluarga peserta didik.
Pasal 34
1. Buku pelajaran yang digunakan dalam pendidikan jalur pendidikan sekolah disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Buku pelajaran dapat diterbitkan oleh Pemerintah ataupun swasta.
Pasal 35
Setiap satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan sumber belajar.
Pasal 36
1. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah.
2. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan.
3. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Bab IX Kurikulum
Pasal 37
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Pasal 38
1. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
2. Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri.
Pasal 39
1. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
2. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat :
a. pendidikan Pancasila;
b. pendidikan agama;
c. pendidikan kewarganegaraan.
3. Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang :
a. pendidikan Pancasila;
b. pendidikan agama;
c. pendidikan kewarganegaraan;
d. bahasa Indonesia;
e. membaca dan menulis;
f. matematika (termasuk berhitung);
g. pengantar sains dan teknologi;
h. ilmu bumi;
i. sejarah nasional dan sejarah umum;
j. kerajinan tangan dan kesenian;
k. pendidikan jasmani dan kesehatan;
l. menggambar; serta
m. bahasa Inggris.
4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bab X. Hari Belajar dan Libur Sekolah
Pasal 40
1. Jumlah sekurang-kurangnya hari belajar dalam 1 (satu) tahun untuk setiap satuan pendidikan diatur oleh Menteri.
2. Hari-hari libur untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Menteri dengan mengingat ketentuan hari raya nasional, kepentingan agama, dan faktor musim.
3. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat mengatur hari-hari liburnya sendiri dengan mengingat ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Bab XI. Bahasa Pengantar
Pasal 41
Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia.
Pasal 42
1. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
2. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
Bab XII. Penilaian
Pasal 43
Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilakukan penilaian.
Pasal 44
Pemerintah dapat menyelenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/atau jenjang pendidikan secara nasional.
Pasal 45
Secara berkala dan berkelanjutan Pemerintah melakukan penilaian terhadap kurikulum serta sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan.
Pasal 46
1. Dalam rangka pembinaan satuan pendidikan, Pemerintah melakukan penilaian setiap satuan pendidikan secara berkala.
2. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara terbuka.
Bab XIII. Peranserta Masyarakat
Pasal 47
1. Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
2. Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.
3. Syarat-syarat dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab XIV. Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
Pasal 48
1. Keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kebijaksanaan Menteri berkenaan dengan sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan saran, dan pemikiran lain sebagai bahan pertimbangan.
2. Pembentukan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional dan pengangkatan anggota-anggotanya dilakukan oleh Presiden.
Bab XV. Pengelolaan
Pasal 49
Pengelolaan sistem pendidikan nasional adalah tanggung jawab Menteri.
Pasal 50
Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang dislenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri dan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 51
Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Bab XVI. Pengawasan
Pasal 52
Pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun oleh masyarakat dalam rangka pembinaan perkembangan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 53
Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap penyelenggara satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
Bab XVII. Ketentuan Lain-lain
Pasal 54
1. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri khusus bagi peserta didik warga negara adalah bagian dari sistem pendidikan nasional.
2. Satuan pendidikan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia oleh perwakilan negara asing khusus bagi peserta didik warga negara asing tidak termasuk sistem pendidikan nasional.
3. Peserta didik warga negara asing yang mengikuti pendidikan di satuan pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi dan dari satuan pendidikan yang bersangkutan.
4. Kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka kerja sama internasional atau yang diselenggarakan oleh pihak asing di wilayah Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab XVIII. Ketentuan Pidana
Pasal 55
1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 18 (delapan belas) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.
Pasal 56
1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 29 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelanggaran.
Bab XIX. Ketentuan Peralihan
Pasal 57
1. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),
3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),
4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini.
Bab XX. Ketentuan Penutup
Pasal 58
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini,
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550),
3. dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361),
4. Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 59
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diumumkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



C. Peraturan Mentri
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 19 TAHUN 2010
Menimbang :
a. bahwa sesuai Pasal 59 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, Menteri
Teknis memiliki kewenangan untuk menetapkan Petunjuk
Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus berdasar Alokasi
dan Pedoman Umum Dana Alokasi Khusus yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
b. bahwa Pasal 18 ayat (5b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 47
Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2010 telah mengubah kebijakan
pemberian block grant/hibah kepada sekolah dalam
penggunaan DAK Bidang Pendidikan Tahun Anggaran
2010;
c. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, Menteri Pendidikan
Nasional telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendikan
Nasional Nomor 5 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang
Pendidikan Tahun Anggaran 2010, yang berdasar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b sudah
tidak sesuai sehingga perlu dilakukan perubahan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Petunjuk
Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang
Pendidikan Tahun Anggaran 2010;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4438);
5. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5075) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5132);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4575);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 1408, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah,
Laporan Keterangan Kepala Daerah Kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4693);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembangian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4863);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 91, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4864);
16. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
17. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
18. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2009 tentang Rencana
Kerja Pemerintah Tahun 2010;
19. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2009
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Dana Alokasi
Khusus (DAK) di Daerah;
21. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.07/2009
tentang Alokasi dan Pedoman Umum Dana Alokasi Khusus
(DAK) Tahun Anggaran 2010;
22. Surat Komisi X DPR RI Nomor 248/KOM.X/DPR-RI/VII/2010
tanggal 20 Juli 2010 perihal : Pengantar Persetujuan Petunjuk
Teknis DAK Pendidikan TA 2010 Jenjang SMP;
23. Surat Kementerian Dalam negeri Republik Indonesia Nomor
905/504/BAKD tanggal 3 Agustus 2010 perihal Pelaksanaan
DAK Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI
KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2010
UNTUK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP).
Pasal 1
Dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan tahun anggaran 2010 untuk SMP
dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknis sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I sampai dengan Lampiran IV Peraturan ini.
Pasal 2
Kabupaten/Kota penerima DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 untuk
SMP, sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan ini.
Pasal 3
DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 untuk SMP diarahkan untuk
pembangunan ruang/gedung perpustakaan SMP beserta meubelairnya, penyediaan
sarana penunjang peningkatan mutu pendidikan SMP, pembangunaan ruang kelas
baru (RKB) SMP, dan rehabilitasi ruang belajar SMP.
Pasal 4
Pada saat diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 5 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran
2010 berikut Surat Edaran Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Nomor 698/C/KU/2010 perihal Tata Cara Pelaksanaan Dana alokasi
Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2010 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. pada tanggal 25 Agustus 2010























BAB 8
KEWIBAWAAN DALAM PENDIDIKAN

1. PENGERTIAN KEWIBAWAAN
Kewibawaan berasal dari kata-kata “kawi” dan “bahwa”. Kawi berarti kuasa, kekuasaan yang lebih, kelebihan. Dan bahwa berarti kekuasaan, keutamaan, kelebihan, keunggulan. Jadi kewibawaan berarti kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga seseorang mampu mengatur, membawa, memimpin, dan memerintah orang-orang lain. (Kartini Kartono 1990:105).
Kewibawaan dapat didefinisikan sebagai kekuatan yang memancar dari diri seorang karena kelebihan yang dimilikinya sehingga mendatangkan kepatuhan tanpa paksaan kepadanya.
Kewibawaan juga dapat didefinisikan suatu kekuatan atau kelebihan pribadi pendidik yang diakui dan diterima secara sadar dan tulus oleh anak didik sehingga ia dengan kebebasannya mau menuruti pengaruh pendidik.

2. MACAM-MACAM KEWIBAWAAN
Menurut Max Weber kewibawaan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Kewibawaan Kharismatis
Kewibawaan Kharismatis merupakan kewibawaan yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus ini melekat pada seseorang dan bersifat given, dalam arti pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang disekitarnya mengakui kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan mitos (taklid). Kewibawaan ini akan terus bertahan selama dapat dibuktikan keampuhannya bagi seluruh masyarakat. Pemimpin kharismatis berwujud pada suatu kewibawaan untuk diri orang itu sendiri, dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan orang atau bahkan terhadap bagian terbesar dari masyarakat. Jadi, dasar kewibawaan kharismatis bukanlah terletak pada suatu peraturan (hukum), akan tetapi bersumber pada diri pribadi individu sang pemimpin. Contoh dari bentuk kepemimpinan kharismatis ini dapat dilihat pada kisah sejarah Nabi dan Rasul dahulu, penguasa-penguasa terkemuka dalam sejarah lainnya.

2. Kewibawaan Tradisional
Kewibawaan tradisional dapat dimiliki oleh seseorang maupun sekelompok orang. Kewibawaan tadi dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka memiliki kemampuan-kemampuan khusus seperti pada kewibawaan kharismatis melainkan kekuasaan dan kewibawaan tersebut telah melembaga dan bahkan menjiwai masyarakat. Ciri-ciri utama kepemimpinan tradisional adalah:
1. Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat sang pemimpin yang memiliki kewibawaan, serta orang-orang lainnya di dalam masyarakat.
2. Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang yang hadir secara pribadi.
3. Selama tidak ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional, orang-orang dapat bertindak secara bebas. Sebagai contoh dari kepemimpinan ini adalah kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin adat.

3. Kewibawaan Legal – Rasional
Kewibawaan rasional atau legal adalah kewibawaan yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku di masyarakat. Sistem hukum disini dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat dan bahkan yang telah diperkuat oleh Negara. Pada kewibawaan yang didasarkan pada sistem hukum harus dilihat juga apakah sistem hukumnya bersandar pada tradisi, agama atau lainnya. Selain itu kewibawaan atau fungsi kepemimpinan ditinjau dari sisi kemasyarakatan adalah:
1. Fungsi Perencanaan
Seorang pemimpin perlu membuat perencanaan yang menyeluruh bagi organisasi dan bagi diri sendiri selaku penanggung jawab tercapainya tujuan dari kepemimpinan.
2. Fungsi memandang ke depan
Seorang pemimpin yang senantiasa memandang ke depan berarti akan mampu mendorong apa yang akan terjadi serta selalu waspada terhadap kemungkinan. Oleh sebab itu seorang pemimpin harus peka terhadap perkembangan situasi baik di dalam maupun di luar organisasi sehingga mampu mendeteksi hambatan-hambatan yang muncul, baik yang kecil maupun yang besar.

3. Fungsi pengembangan loyalitas
Pengembangan kesetiaan ini tidak saja diantara pengikut, tetapi juga untuk para pemimpin tingkat rendah dan menengah daalam organisasi. Untuk mencapai kesetiaan ini, seseorang pemimpin sendiri harus memberi teladan baik dalam pemikiran, kata-kata, maupun tingkah laku sehari-hari yang menunjukkan kepada anak buahnya pemimpin sendiri tidak pernah mengingkari dan menyeleweng dari loyalitas segala sesuatu tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
4. Fungsi pengawasan
Fungsi pengawasan merupakan fungsi pemimpin untuk senantiasa meneliti kemampuan pelaksanaan rencana. Dengan adanya pengawasan maka hambatan-hambatan dapat segera diketemukan, untuk dipecahkan sehinga semua kegiatan kembali berlangsung menurut rel yang telah ditetapkan dalam rencana.
5. Fungsi mengambil keputusan
Pengambilan keputusan merupakan fungsi kepemimpinan yang tidak muddah dilakukan. Oleh sebab itu banyak pemimpin yang menunda untuk melakukan pengambilan keputusan. Bahkan ada pemimpin yang kurang berani mengambil keputusan. Metode pengambilan keputusan dapat dilakukan secara individu, kelompok tim atau panitia, dewan, komisi, referendum, mengajukan usul tertulis dan lain sebagainya.

6. Fungsi memberi motivasi
Seorang pemimpin perlu selalu bersikap penuh perhatian terhadap anak buahnya. Pemimpin harus dapat memberi semangat, membesarkan hati, mempengaruhi anak buahnya agar rajin bekerja dan menunjukkan prestasi yang baik terhadap organisasi yang dipimpinnya.

3. ALAT-ALAT KEWIBAWAAN
Berikut adalah alat-alat kewibawaan dan bagimana cara untuk mendapat kewibawaan tersebut :
1. Fikiran kita
Untuk membangun kewibawaan dan kharisma terlebih dahulu kita harus mengubah pola pikir kita, mulai sekarang biasakan agar selalu berpikiran positif. Hilangkan pikiran bahwa kewibawaan dan kharisma adalah milik mereka golongan atas atau orang-orang kaya.
2. Kredibilitas
Kredibilitas menurut sumber adalah keterpercayaaan orang-orang disekitar anda terhadap diri anda, karena dengan kredibilitas yang tinggi anda akan cepat memperoleh peningkatan karir, bisnis anda akan berkembang cepat, anda akan diterima oleh orang lain dengan cepat dan tangan terbuka, setiap perkataan anda akan diterima dan diikuti oleh orang lain.
Cara membangun kredibilitas adalah dengan melakukan hal-hal seperti berikut ini :
a. Memiliki kejujuran dan ketulusan
b. Pegang kata-kata anda
c. Bersikaplah ksatria
d. Memiliki keahlian dan kecakapan
e. Jangan gadaikan prinsip anda
3. Kebanggaan terhadap diri kita
Pada dasarnya manusia lebih tertarik pada dirinya sendiri daripada orang lain, inilah yang harus anda pahami sebelum menarik perhatian dari manusia lainnya. Karena kewibawaan anda terpancar saat anda mampu memberikan sentuhan yang manusiawi kepada orang-orang disekitar anda. Buatlah setiap orang merasa penting, satu hal yang perlu kita ingat semua orang membutuhkan perasaan dianggap penting, dihargai dan dihormati. Untuk itu kita harus berusaha memenuhi egonya orang lain.


4. Penampilan fisik
Penampilan fisik sangatlah penting untuk membangun kewibawaan seseorang, sisihkanlah sedikit uang untuk membeli baju atau pakaian yang pantas dan rapi dikenakan oleh kita selain itu janganlah anda merasa berkecil hati apabila wajah anda tidak menarik atau kulit anda hitam, hal ini dapat dihilangkan dengan rajin merawat wajah anda dan kulit anda dengan sabun yang ada, yang penting anda bisa terlihat bersih dan juga rapi.


4. KEWIBAWAAN DAN ANAK
Dalam hal kewibawaan dan anak akan lebih cenderung kepada fungsi dari kewibawaan dalam mendidik anak. Berikut adalah hubungan antara kewibawaan dan anak.
Pendidikan itu terdapat dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak-anak. Sebab pergaulan antara orang dewasa sesamanya, orang menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh-pengaruh pergaulan itu. Demikian pula pergaulan antara anak-anak dengan anak-anak biarpun sering kali seorang anak menguasai dan dituruti oleh anak-anak lainnya tetapi kekuasaan atau gezag yang terdapat pada anak itu tidak bersifat gezag pendidikan, karena kekuasaan itu tidak tertuju kepada tujuan pendidikan.
Dalam pergaulan baru terdapat pendidikan jika di dalamnya telah terdapat kepatuhan dari si anak, yaitu bersikap menuruti atau mengikuti wibawa yang ada pada orang lain dan mau menjalankan suruhannya dengan sadar. Tetapi tidak semua pergaulan antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan pendidikan, ada pula pergaulan semacam itu yang mempunyai pengaruh-pengaruh jahat atau pergaulan yang netral saja.
Satu-satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan ialah pengaruh yang menuju ke kedewasaan si anak untuk menolong si anak menjadi orang yang kelak dapat atau sanggup memenuhi tugas hidupnya dengan berdiri sendiri. Tidak setiap macam tunduk menurut terhadap orang lain (seperti menurut perintah-perintah anak lain) dapat dikatakan “tunduk terhadap wibawa pendidikan”. Bagaimana sikap anak terhadap kewibawaan pendidikan? Dalam hal ini Langeveld menjelaskan dengan dua buah kata :
a. Sikap menurut atau mengikut (volagen), yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menuruti yang sebenarnya.
b. Sikap tunduk atau patuh, yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak pada orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa sendiri terikat akan memenuhi perintah itu.
Dalam hal yang terakhir inilah tampak fungsi wibawa pendidikan, yaitu membawa si anak ke arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankannya. (Athiyah Alabrasy, 2001 : 55)















BAB 9
PERMASALAHAN PENDIDIKAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
•Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
•Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
•Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
•Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
•Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
•Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
•Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
•Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.





BAB 10
PENDIDIKAN ISLAM


A. Pendidikan dalam Konsep Islam
Konsep pendidikan Islam perlu dilihat dari dua sudut pandang:
1) Pendidikan umum
Tiga istilah yang sering digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu at-Tarbiyat, at-Ta’lim dan at-Ta’dib. Baik yang at-Tarbiyat, at-Ta’lim maupun at-Ta’dib, merujuk kepada Allah. Tarbiyat yang ditengarai sebagai kata bentuk dari kata Rabb (ربّ) atau Rabba (ربّا) mengacu kepada Allah sebagai Rabb al-Alamin. Sedangkan Ta’lim yang berasal dari kata ’Alama, juga merujuk kepada Allah sebagai dzat yang Maha ’Alim. Selanjutnya Ta’dib seperti termuat pada pernyataan Rosulullah SAW. ”Addabany Rabby Faahsana Ta’diby” menperjelas bahwa sumber utama pendidikan adalah Allah. Sehingga pendidikan yang beliau peroleh adalah sebaik-baik pendidikan. Dengan demikian dalam pendangan filsafat pendidikan Islam. Rosul merupakan pendidik utama yang harus dijadikan teladan.
2) Pndidikan khusus
Pendidikan khusus dapat dirumuskan sebagai usaha untuk mebimbing dan mengembangkan potensi manusia secara optimal agar dapat menjadi pengabdi allah yang setia, berdasarkan dan dengan mempertimbagnkan latar belakang perbedaan individu, tingkat usia, jenis kelamin dan lingkungannya masing-masing.

B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
1) Dasar pendidikan Islam
Al-syaibani mengatakan ada lima prinsip dasar yang menjadi kerangka acuan dalam penyusunan dasar pendidikan Islam (al-Syaibani, 1993). Mengacu pada lima prinsip utama ini, maka Prof. Dr. Hasan Langgulung menjadikannya sebagai landasan pemikiran filsafat islam. Kelima prinsip menurut Hasan Langgulung adalah:
a) Dasar pandangan terhadap manusia
b) Dasar pandangan terhadap masyarakat
c) Dasar pandangan terhadap alam semesta
d) Dasar pandangan terhadapilmu pngetahuan
e) Dasar pandangan terhadap akhlak
2) Tujuan pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam memiliki karakteristik yang ada kaitannya dengan sudut pandang tertentu. Secara garis besar tujuan pendidikan Islam dapat dillihat dari tujuh dimensi utama.
a) Dimensi hakikat pendciptaan manusia
b) Dimensi tauhid
c) Dimensi moral
d) Dimensi perbedaan individu
e) Dimensi sosial
f) Dimensi profesional
g) Dimensi ruang lingkup

C. Batas dan Alat Pendidikan
1) Batas pendidikan
Batas pendidikan menurut Rosulullah SAW, tidak hanya terbatas pada usia 24 tahun. Sebab tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya akhlaq al-karimah (akhlak yang terpuji). Pembentukan itu memerlukan rentang waktu yang panjang, yaitu sepanjang hanyat manusia. Rosulullah SAW, menegaskan bahwa sesungguhnya masa pendidikan itu terentang dari sejak buaian (lahir) hingga ke liang kubur (mati) atau akhir hayat (min al-mahd ila al-lahd). Pendidikan barat modern menganalnya sebagai life long education (pendidikan sepanjang hayat).
2) Alat pendidikan
Dalam pendidikan Islam alat pendidikan yang paling diutamakan adalah teladan. Sejalan dengan hal itu maka pendidikan Islam menempatkan Rosullullah SAW sebagai sosok teladan utamanya, sebagaimana dinyatakan oleh al-Qur’an (laqad kana laqum fi rosulillahi uswatun hasanah). Bagi para pendidik, sosok kehidupan dan perilaku beliau senantiasa dijadikan acuan dalam mendidik.

D. Pendidikan Islam sebagai Satu Sistem
1) Hakikat pendidikan
a) Pandidikan dalam konsep Tarbiyah: hubungan antara tugas orang tua terhadap anaknya dengan Tuhan sebagai Rabb (maha pendidikan).
b) Pendidikan dalam konsep Ta’dib: Allah SWT sebagai pendidik yang maha agung yang mendidik Rosul dengan sistem pendidikan yang terbaik.
c) Pendidikan dalam konsep Ta’lim: berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan.
2) Kriteria pendidikan
Adapun kriteria-kriteria dimaksud, perlu dimiliki oleh pndidik adalah, untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman hingga dapat menelantarkan anak didik dalam mencari nilai-nilai hidup dan mengembangkan kepribadiannya, serta pengetahuannya menurut ajaran Islam (Zuhairani, 1995:170)
3) Hakikat peserta didik
a) Kriteria pesera didik
1. Masa usia pra sekolah (0;0 – 6;0 tahun)
- Masa vital/tahap asuhan (0;0 – 2;0 tahun)
- Masa estetik (0;0 – 6;0 tahun)
2. Masa usia sekolah dasar (6;0 – 12;0/13;0 tahun)
- Masa kelas rendah/sekolah dasar (6;0/7;0 – 9;0/10;0 tahun)
- Masa kelas tinggi sekolah dasar (9;0/10;0 – 12;0/13;0 tahun)
3. Masa usia sekolah menengah (14;0 – 20;0 tahun)
4. Masa usia mahasiswa (19;0/20;0 – 25;0/30;0 tahun)
5. Masa usia kebijaksanaan (30;0 – meninggal dunia)
b) Potensi peserta didik
Pengembangan berbagai potensi manusia dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui institusi-institusi baik disekolah, keluarga, masyarakat, mapun melalui institusi sosial yang ada (Muhaimin: 141). Usaha untuk mengembangkan potensi fitriyah dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, dan juga jalur non formal.
Adapun untuk membahas pengmbangan potensi-potensi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan konsep tentang manusia, yang erat kaitannya dengan pengembangan potensi ini adalah al-Insan, an-Nas al-Basyr. Konsep tersebut meruapakan bagian dari informsi wahyu tentang manusia, seperti yang termaktub dalam berbagai ayat al-Qur’an.
c) Aspek perkembangan
Berdasarkan potensi fitrah penciptaannya, maka perkembangan manusia meliputi seluruh aspek yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya baik dalam statusnya sebagai makhluk bertuhan, makhluk individu, makhluk sosial, makhluk bermoral, makhluk berperadaban dan sebagainya. Aspek perkembangan ini merupakan potensi yang mendukung pengembangan manusia menjadi sosok menausia seutuhya, secara optimal dan berimbang, agar mampu menjalankan amanat dalam statusnya selaku hamba Allah maupun khalifah-Nya.
d) Pembentukan kepribadian
Berbagai istilah utnuk menggambarkan kepribadian:
1. Mentality: ciri dan situasi mental seseorang yang dihubungakan dengan kegiatan intelektualya.
2. Personality: ciri seseorang yang dapat dibedakan dari orang lain berdasarkan seluruh sikapnya.
3. Individuality: sifat khas yang dimiliki masing-masing individu, manusia memiliki prbedaan (individual diffrncies).
4. Identity: kecenderungan mempertahankan sifat khas terhadap pengaruh lain yang datang dari luar.
4) Hakikat kurikulum
1) Pengertian kurikulum
Hakikat kurikulum dalam pendidikan Islam adalah berupa bahan-bahan atau materi, aktivitas dan pengalaman-pengalaman yang mengandung unsur ajaran ketauhidan yang diberikan kepada manusia semenjak lahir sampai keliang lahat kubur, untuk membentuk akhlak yang mulia sesuai dengan hakikat penciptaan manusia, dan juga sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya dimuka bumi, dalam bentuk konsep seutuhnya.
2) Kurikulum pendidikan Islam
Kurikulum yang dipandang baik dan efektif guna mencapai tujuan pendidikan Islam adalah kurikulum yang berisi muatan materi yang bersifat terpadu dan komprehensif.
3) Kurikulum dan peserta didik
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai menu bagi pertumbuhan dan perkembangan perserta didik. Baik buruknya materi kurikulum akan ikut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan pendidikan. Penentuan materi kurikulum akan berhubungan langsung dan iktu berpengaruh dalam pembentukan sikap dan perilaku peserta didik pada kehidupan selanjutnya.
4) Kurikulum dan tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam, adalah sejalan dengan tujuan ajaran Islam yaitu membentuk akhlak yang mulai, dalam kaitannya dengan hakikat pencipataan manusia. Oleh sebab itu, harus diusahakan agar materi kurikulum yang diberikan atau diajarkan kepada peseta didik dapat memberikan pengaruh terhadap tingkah laku mereka hingga mengarahkan kepada pencapain tujuan pendidikan tersebut.












BAB 11
ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

A. ALIRAN KLASIK DALAM PENDIDIKAN
Aliran-aliran klasik yang dimaksud adalah Aliran Empirisme, Aliran Nativisme, Aliran Naturalisme, dan Aliran Konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembangan-pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
1. Aliran-aliran Klasik dalam Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Pendidikan di Indonesia.
a. Aliran Empirisme
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulsi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diproleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alm bebaqs ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk pendidikan. Tokoh perintisnya adalah John Locke.
b. Aliran Nativisme
Aliran Nativisme bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil prkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap dan pendidikan anak.
c. Aliran Naturalisme
Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau. Rosseau berpendapat bahwa semua anak baru dilahirkan mempunyai pembawaan BAIK. Pembawaan baik akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak pembawaan baik anak itu.
d. Aliran Konvergensi
Aliran Konvergensi dipelopori oleh Wlliam Stern, ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dumia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu.
B. ALIRAN KEFILSAFATAN PENDIDIKAN

1. JENIS-JENIS ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu :
a. Filsafat pendidikan “progresif”
Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau
b. Filsafat pendidikan “ Konservatif”.
Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.

Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya. Aliarn-aliran kefilsafatan pendidikan antara lain :
1. Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali
2. Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.

3. Filsafat pendidikan tomistik, Aliran ini berasal dari Thomas Aquinas yang berpendapat bahwa manusia adalah unik sebab tersusun dari unsur material dan spiritual dan berkehidupan dua sisi yaitu dunia dan surga. Sekolah adalah agen sosial yang memberikan bantuan bagi pengembangan manusia sebagai unsur yang berfikir dan unsur yang berpartisipasi dalam kehidupan manusia.
Konsep Thomisyic tentang manusia alami menjadi dasar dari penyelenggaraan pembentukan kurikulum. Kurikulum dikembangkan dengan menganut prinsip herarki umum didalam pelaksanaannya sehingga aspek-aspeknya sangat umum, abstrak dan terpilih. Seluruh aspek yang termuat dalam kurikulum sangat lokal, khusus dan disesuaikan dengan kepentingan setempat.
Sedangkan makna guru adalah orang yang memproses pengetahuan atau keterampilan dan rangkaian pengajaran kepada siswa. Dalam proses ini, siswa harus aktif, dengan bahasa, guru merangsang, melayani, memotivasi serta menjelaskan kepada siswa tentang sesuatu hal yang harus diuji dengan intelektualnya.

4. Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
5. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.
6. filsafat Eksperimentalisme
Dalam Tulisan ini mencoba untuk mengidentifikasi secara lebih jauh pemikiran John Dewey tentang pendidikan. Apa yang kita pahami, pemikiran pendidikan Dewey seiring dengan konsepsi filsafat eksperimentalisme yang dibangunnya melalui konsep dasar penmgalaman, pertumbuhan, eksperimen dan transaksi. Secara demikian Dewey juga melihat teori filsafatnya sebagai suatu teori umum tentang pendidikan dan melihat pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi konkrit dan harus diuji serta karena pendidikan dan filsafat saling membutuhkan. Terdapat dua kontribusi penting dari konsep pendidikan Dewey yakni, konsepsi baru tentang pendidikan sosial dan kesosialan pendidikan, serta memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep pendidikan yang berfokust pada anak. (Pendidikan, John Dewey, eksperimentalisme).
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan pada dirinya sendiri bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memang memiliki daya dorong pada perubahan, bisa melahirkan orang-orang kritis dan kreatif. Akan Tetapi di sisi lain, ia pun memiliki fungsi untuk memperkuat dan melestarikan fungsi masyarakat yang timpang. Di poin inilah kemudian terjadi tarik menarik antara kekuatan yang mendorong pada perubahan dengan kekuatan yang mempertahankan status quo untuk tetap eksis. Manakah dari dua hal ini yang akan lebih kuat pengaruhnya?

Ada banyak tafsiran yang kadang-kadang kita temukan berbeda, kalau kita pahami itu sebagai entitas dari fenomena sosial, hal ini akan banyak bergantung pada sistem ekonomi dan politik yang mengelilingi pendidikan itu. Bila sistem ekonomi dan politik menunjukkan adanya ketimpangan maka fungsi pendidikan cenderung akan melestarikan ketimpangan itu sendiri, karena kebijakan dan praktek pendidikan akan banyak diisi dan dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan kelompok dominan yang menduduki posisi ekonomi dan politik di lapisan atas. Atau, kalaupun dari sistem pendidikan itu dapat muncul orang-orang yang kritis, daya kritisnya untuk melakukan perubahan akan mandul,kadang-kadang membutuhkanwaktu cukup lama.

Realitas ini, menjadi perlu untuk selalu di diskusikan sesering mungkin untuk mencari alternatif tentang konsep pendidikan dari para pemikir yang sekiranya cocok untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ini. Salah satu konsep dan pemikiran yang dirasa cocok dengan hal tersebut dan akan dibahas di sini adalah konsep pendidikan menurut John Dewey. Secara umum, deskripsi-deskripsi Dewey tentang peserta didik sebagai pengukur aktif tujuan-tujuan mereka sendiri telah dapat diterima secara luas. Apalagi, penolakan Dewey terhadap keabsolutan dan pertanyaan tentang kepastian dalam epistemologi menduduki posisi yang dominan dalam pemikiran masa kini. Keteguhannya tentang partisipasi peserta didik sebagai bentuk demokrasi sesuai dengan usianya sangat sejalan dengan semangat perubahan dan akan melahirkan orang-orang yang kritis dan kreatif. Pemikiran yang kritis dalam membaca suatu realitas akan melahirkan teori baru. Dengan banyaknya kasus di wilayah pendidikan saat ini setelah pemerintahan Orde Baru, maka pemnulis mencoba untuk mencari formulasi konsep dalam Perspektif Filosofis.
Apa yang saya lakukan, bukan untuk mencari jalan tengah dari perbedaan pendapat tentang pemikiran John Dewey akan tetapi Artikel ini akan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan dalam tulisan kali ini yakni, sebagai seorang filsuf, bagaimana konsep tentang pendidikan menurut John Dewey dan sumbangan apa yang bisa diberikan oleh konsep tersebut terhadap pendidikan, khususnya dalam upaya melahirkan orang-orang yang memiliki daya kritis dan inofatif terhadap perubahan.Tidak banyak yang kita rumuskan tetapi dalam tulisan ini bertujuan untuk memahami secara komprehensif pemikiran John Dewey tentang pendidikan. Selain itu ingin dipahami juga kontribusi yang bisa diberikan Dewey terhadap dunia pendidikan dan seberapa pentingnya tulisan ini membantu kita untuk menganalisa lebih jauh secara filosofis dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang.Mekipun artikel yang menulis tentang Dewey sudah banyak tetapi Secara umum terdapat banyak penelitian tentang John Dewey masih sebatas melihat pada sisi filsafat saja. Hasil penelitian Brumbaugh dan Lawrence (1963) menyebutkan bahwa Dewey hampir-hampir tidak membedakan pemikiran filsafatnya dengan teori pendidikannya. Konsep Dewey tentang pendidikan diwarnai oleh pemikiran tentang pendidikan yang progresif, dimana pertumbuhan, perkembangan, evolusi, kemajuan, dan perbaikan merupakan elemen-elemen untuk menjadikan pendidikan yang progresif. Pemikiran inilah yang membawanya menjadi salah satu konseptor tentang pedidikan kontemporer, dimana dalam konsep ini pula gagasan filosofi Dewey nampak dan disebutnya sebagai the experimental continum, atau penyelidikan yang berkelanjutan. Dalam konsep tersebut terlihat adanya hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, yang dalam lingkup pendidikan digambarkan sebagai proses sosial. Brumbaugh dan Lawrence (1963) juga mengemukakan tentang teori umum pendidikan dari pemikiran Dewey, yang disebutkan bahwa pendidikan sebagai suatu proses pembentukan fundamental atas disposisi intelektual dan emosional seseorang.Sisi lain dari hasil penelitiannya pemikir lain yang bernama Whitehead juga menyatakan setuju dengan beberapa pemikiran Dewey tentang pendidikan. Whitehead menekankan bahwa pengetahuan datang dari konflik atau gesekan antar manusia yang terpecahkan. Dalam hal ini manusia belajar tatkala terjadi persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan. Menurut Whitehead, Dewey yang memperoleh inspirasi dari Aristotle bahwa bentuk yang kompleks muncul dari sesuatu yang kecil dan individual yang alami. Menurutnya naturalisasi pendidikan Dewey adalah bentuk pendidikan untuk masyarakat, dimana baik Dewey maupun Rousseau menginginkan manusia hidup sesuai dengan kodrat, tetapi kodrat disini didalamnya termasuk dan melibatkan masyarakat yang kompleks, yang cenderung pada adanya kompleksitas lebih dari sekedar sesuatu yang bersifat sederhana. Lebih lanjut Whitehead berpendapat bahwa naturalisasi Dewey bersifat evolusioner dan pragmatis, yang didalamnya terkandung gagasan evolusi, pertumbuhan, dan perkembangan manusia.Satu hal lain, Noddings (1997) lebih tegas dalam membedah pemikiran Dewey pada beberapa hal. Pertama, ia mengelompokkan pemikiran Dewey sebagai filsuf naturalistik yang menjelaskan segala sesuatu dari fenomena alam dari obyek-obyek dan kejaduan-kejadian yang dapat diterima oleh perasaan manusia, dan menolak hal-hal yang berkaitan dengan sumber-sumber supranatural, bahkan menolak definisi Tuhan dalam gagasan-gagasan, rencana, dan tindakan manusia. Dewey sangat percaya pada metode-metode ilmu pengetahuan dan mendesak penggunaannya dalam setiap bagian dari aktivitas manusia.Kedua, Noddings (1998) juga berpendapat bahwa Dewey sering mengemukakan dua hal yang ekstrim, sebagaimana disebutkan dalam bukunya yang berjudul experience and education. Dalam buku ini ia menyebutkan dua hal yang berlawanan. Di satu pihak Dewey mempertentangkan antara pendidikan lama dan baru, tetapi di sisi yang lain ia tidak secara khusus mengemukakan yang baru tersebut.

7. Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
BAB 12
SEJARAH PENDIDIKAN

A. Sejarah Singkat Pendidikan
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang memberi warna dan menjadi "semangat zaman" (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.

Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, antara lain untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).

Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)

Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.

Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau "tradisional" yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)

Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyaraka antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.

Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki "perbatasan" (sejarah) pendidikan dengan "ilmu-ilmu terapan" yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis "simbiose mutualistis" antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.

Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.

Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm (diakronik dan/atau sinkronik). Untuk Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir, substansinya seluruh spektrum pendidikan yang secara temporal pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan pendidikan dengan politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan penyusunan dan perubahan kurikulum dengan segala aspeknya yang menyertainya; lembaga-lembaga pendidikan (pemerintah maupun swasta); pendidikan formal dan non-formal; pendidikan umum, khusus dan agama. Singkatnya segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan di Indonesia dahulu dan sekarang dan melihat prosepeknya ke masa depan. Sejarah sebagai kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk melihat prosepek ke depan meskipun tidak punya pretensi meramal. Dalam setiap bahasan dicoba dilihat filosofi yang melatarinya.

Sumber-sumber yang digunakan: sumber pertama (primary sources) berupa dokumen-dokumen yang menyangkut kebijakan pendidikan; sumber kedua (secondary sources) benipa artikel, monograf, atau buku-buku tentang perkembangan dan makalah pendidikan. Sebagai bahan komparasi sumber-sumber mengenai Sejarah Pendidikan di negara-negara lain yang dapat diperoleh melalui internet dll.

Cara penyajian kuliah sebagian besar melalui diskusi-diskusi, terutama membahas dokumen-dokumen dari sumber-sumber pertama; membuat Chapter dan/atau Book Report; menyusun makalah individual dan/atau kelompok yang didiskusikan.

DAFTAR PUSTAKA

Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Supriyanto, eko dkk.2003.Landasan Pendidikan.Surakarta:Muhammadiyah University Press
Pidarta, Dr. Made. 2000. Landasan Kependidikan. Rineka Cipta. Jakarta
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Siswoyo, Dwi, dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. UNY Press. Yogyakarta
UU Sikdiknas. 2006. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
UU Guru dan Dosen. 2005. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press
http://www.membuatblog.web.id/2010/02/pengertian-hakikat-manusia.html
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995. Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Grasindo.
Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Poerbakawatja, Soegarda. 1970. Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka. Djakarta: PT Ginning Agung.
Fernandez perez, Miguel . 1982 . Krisis Dalam Pendidikan . Jakarta : PN Balai Pustaka.
Prof . Dr. Tilaar , H.A.R.M.Sc.Ed. 2002 . Pendidikan dan Masyarakat madani Indonesia . Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Abdul Mujib.Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencan, 2006)
Soejono.Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, (Bandung: CV. Ilmu, 1982),
Ihsan. H. Fuad. 1997.Dasar- dasar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Usman. Moh. Uzer. 1990. Menjadi Guru Profesional. Jakarta: PT. Bumi Putra.
Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih.http://gudangdebu.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment